Indonesia Layak Menjadi Rujukan Negara G20 Atasi Krisis Pangan
Oleh: Ayu Sasmita
Krisis pangan global kini menjadi tantangan baru tiap negara di dunia. Setidaknya ada sekitar 60 negara yang diambang keruntuhan, di mana 42 negara di antaranya telah terkonfirmasi akan jatuh akibat krisis pangan yang terjadi. Situasi yang terjadi tidak terlepas dari dampak invasi Rusia-Ukraina yang menyebabkan rantai pangan global menjadi terganggu.
Di mana kedua negara tersebut merupakan produsen dan eksportir komoditas utama dunia seperti minyak dan gas, pertambangan, hingga pangan. Hal ini mengakibatkan negara-negara lain ikut mengalami krisis pangan diikuti dengan harga-harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi.
Dengan adanya konflik geopolitik Rusia-Ukraina dan pembatasan ekspor-impor, pasokan pangan kian terhambat.
Hambatan tersebut mengakibatkan harga kebutuhan pangan menyentuh level tertinggi. Harga pangan dunia merangkak naik hampir 13% pada bulan Maret 2022 dan berpotensi terus meningkat hingga 20% pada akhir tahun 2022.
Beberapa negara yang selama ini menggantungkan hasil pangan dari impor menjadi tak berkutik lantaran tidak memiliki cadangan devisa yang mengakibatkan negara-negara tersebut harus terjebak pada pinjaman hutang yang sangat tinggi untuk kebutuhan impor pangan.
Presiden Jokowi telah memerintahkan jajarannya untuk mencari cara dan bersiap diri agar terhindar dari ancaman krisis pangan. Jokowi mengajak para petani di Indonesia untuk memanfaatkan lahan di antara tanaman sawit dengan menanamkan seluruh bahan alternatif yang bisa menjadi sumber pangan seperti sorgum, jagung, hingga porang. Jokowi menginginkan Indonesia tak hanya berhasil melewati ancaman krisis pangan, melainkan juga dapat mandiri, dan bisa memanfaatkan peluang ekspor agar kebutuhan pangan tetap terjaga.
Di sisi lain, Panitia Kerja (Panja) Komisi IV DPR RI menyarankan agar pemerintah melakukan redistribusi pupuk dan benih bersubsidi yang diyakini efektif menjaga ketahanan pangan diiringi dengan validasi data penerima. Saran ini diterima dengan baik oleh Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi. Ia menegaskan pentingnya pasokan pupuk untuk mengatasi krisis pangan.
Retno Marsudi menyatakan bahwa jika Indonesia gagal mengatasi masalah pupuk, maka situasi pangan akan semakin memburuk, khususnya terkait beras. Masalah beras itu sendiri sangat berkaitan dengan 2 miliar jiwa manusia yang harus diberi makan. Untuk meningkatkan produktivitas lahan, pemerintah pastikan rutin melakukan evaluasi pada penyaluran subsidi pupuk dan benih agar tepat sasaran.
Tidak hanya melakukan subsidi pupuk dan benih untuk sektor pertanian, pemerintah melalui Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir secara resmi meluncurkan program SOLUSI (Solar Untuk Koperasi) para nelayan. Peluncuran program subsidi solar seharga Rp6.800/liter ini sesuai dengan perintah Presiden Jokowi dalam mencari jalan keluar menjaga kesejahteraan nelayan dan mencegah krisis pangan dengan membenahi model bisnis perikanan dan melibatkan koperasi-koperasi sebagai agregator dan penjamin pertama bagi nelayan.
Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki meyakini program SOLUSI menjadi jawaban atas sejumlah persoalan yang selama ini dihadapi oleh nelayan. Diketahui, 60% biaya produksi nelayan selama ini digunakan hanya untuk kebutuhan BBM. Subsidi solar merupakan langkah tepat yang memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan nelayan.
Jika dilihat dari berbagai upaya yang dilakukan pemerintah, Indonesia sangat layak dijadikan rujukan bagi negara lain, khususnya di Presidensi G20 Indonesia 2022 dalam mengatasi krisis pangan yang terus mengancam. Pasalnya, Indonesia telah berhasil swasembada beras pada 3 (tiga) tahun berturut-turut yaitu tahun 2019, 2020, dan 2021.
Akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB), Prima Gandhi mengatakan Indonesia sudah layak dijadikan rujukan bagi negara lain karena pemerintah sudah mempertahankan komitmennya dalam mencegah krisis pangan dengan upaya memberikan subsidi pupuk kepada para petani dan subsidi solar kepada para nelayan.
Prima Gandhi juga mengatakan terdapat 3 (tiga) faktor utama yang bisa Indonesia tawarkan kepada negara-negara yang sedang dilanda krisis di mana ketiga tawaran tersebut sudah dijalankan oleh pemerintah selama ini. Pertama, Pangan Lokal yaitu diversifikasi pangan yang bertujuan untuk mengantisipasi krisis pangan global dengan menyediakan pangan lokal sumber karbohidrat non-beras yang bisa dimanfaatkan sebagai kebutuhan pokok.
Kedua, Program Lumbung Pangan Nasional (Food Estate) yaitu pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan. Program kebijakan ini ditujukan sebagai perluasan lahan untuk meningkatkan cadangan pangan nasional.
Ketiga, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) yaitu lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok. Pada program ini, pemerintah harus mewajibkan tiap daerah di Indonesia untuk menerapkan peraturan LP2B agar menjadi solusi perlindungan lahan pertanian.
Tak hanya itu, Food Agriculture Organization (FAO) mengakui resiliensi Indonesia terutama pada sektor pertanian dan pangan. FAO menilai Indonesia dapat memanfaatkan posisinya sebagai Ketua G20 untuk mendorong dan mengajak negara-negara anggota G20 untuk berkolaborasi dalam mengatasi masalah krisis pangan serta kelaparan yang terus meningkat di dunia. Tentu saja hal ini menjadi modal yang tepat bagi Indonesia untuk mempelopori negara-negara lain dalam memecahkan permasalahan krisis pangan global.
*)Penulis adalah kontributor Persada Institute