UU TNI Jaga Supremasi Sipil, Sesuaikan Perkembangan Zaman dan Tingkatkan Profesionalisme Prajurit
Oleh : Dimas Drajat
Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) dalam sidang paripurna pada 20 Maret 2025. Perubahan ini memastikan supremasi sipil tetap terjaga, menyesuaikan strategi pertahanan dengan dinamika zaman, serta meningkatkan profesionalisme prajurit dalam menghadapi tantangan pertahanan modern.
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menegaskan bahwa revisi UU TNI menitikberatkan pada penguatan profesionalisme prajurit. Menurutnya, sebagai tentara rakyat, pejuang, dan nasional, TNI harus selalu siap menghadapi ancaman konvensional maupun nonkonvensional. Transformasi dalam tubuh TNI diperlukan untuk mendukung geostrategis bangsa serta memastikan pertahanan yang realistis dalam menjaga kelangsungan NKRI.
Penyesuaian UU TNI juga merespons perkembangan teknologi militer global dan situasi geopolitik yang terus berubah. Sjafrie menekankan bahwa modernisasi pertahanan harus dilakukan agar Indonesia memiliki strategi yang adaptif dan mampu bertahan di tengah dinamika global.
Ketua DPR RI, Puan Maharani, menyampaikan bahwa revisi UU TNI berfokus pada tiga substansi utama. Pertama, perubahan pada Pasal 7 yang menambah cakupan tugas pokok TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP). Kini, TNI turut berperan dalam menanggulangi ancaman siber serta melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri.
Kedua, revisi pada Pasal 47 yang memperluas ruang lingkup penempatan prajurit aktif di kementerian dan lembaga negara. Jika sebelumnya hanya 10 lembaga, kini bertambah menjadi 14 dengan tetap tunduk pada peraturan administrasi yang berlaku. Namun, di luar lingkup tersebut, prajurit aktif hanya dapat menempati jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun.
Ketiga, perubahan terkait masa dinas keprajuritan yang kini lebih fleksibel sesuai jenjang kepangkatan. Dengan peningkatan usia pensiun, TNI memastikan kesiapan sumber daya manusia dalam menjaga pertahanan negara tetap optimal. Puan menegaskan bahwa revisi UU TNI tetap berlandaskan prinsip demokrasi, supremasi sipil, serta norma hukum nasional dan internasional yang berlaku.
Ketua Fraksi Partai Gerindra, Budisatrio Djiwandono, memastikan bahwa revisi UU TNI tidak bertentangan dengan semangat reformasi. Ia menekankan bahwa perubahan ini bukan langkah mundur, melainkan adaptasi terhadap tantangan pertahanan modern. Supremasi sipil tetap menjadi pijakan utama, dengan pengawasan ketat dari DPR RI agar tidak terjadi dominasi militer dalam ranah sipil maupun politik.
Perubahan pada Pasal 3 mempertegas posisi TNI dalam sistem pertahanan negara. Kini, TNI berada di dalam Kementerian Pertahanan (Kemhan), bukan di bawahnya, untuk menjaga keseimbangan otoritas. Koordinasi antara TNI dan Kemhan hanya mencakup kebijakan, strategi pertahanan, serta dukungan administratif, sementara operasional tetap menjadi ranah TNI sepenuhnya.
Perubahan lain dalam Pasal 7 memperluas cakupan OMSP, khususnya dalam menghadapi ancaman siber dan perlindungan WNI di luar negeri. TNI kini memiliki mandat lebih kuat dalam menangani serangan digital yang semakin kompleks serta membantu evakuasi dan perlindungan warga negara dalam situasi darurat di luar negeri. Ancaman pertahanan tidak lagi terbatas pada aspek fisik, tetapi juga mencakup dimensi digital dan transnasional.
Dalam aspek penempatan prajurit aktif, revisi Pasal 47 memastikan bahwa personel TNI tetap berada dalam lingkup kementerian dan lembaga yang berkaitan dengan sektor pertahanan dan keamanan nasional.
Institusi seperti Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), serta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) membutuhkan keterlibatan prajurit TNI dalam menjalankan tugasnya. Kejelasan regulasi dalam revisi ini menjamin efektivitas dan profesionalisme dalam setiap penugasan.
Peningkatan usia pensiun prajurit juga menjadi salah satu poin penting dalam revisi UU TNI. Banyak negara menetapkan usia pensiun militer pada rentang 58 hingga 65 tahun. Sebelumnya, prajurit TNI, terutama tamtama dan bintara, harus pensiun pada usia 53 tahun, meskipun kondisi fisik dan mental mereka masih prima.
Revisi ini menaikkan batas usia pensiun tamtama dan bintara menjadi 55 tahun, perwira menengah hingga 58 tahun, serta perwira tinggi hingga 60 atau 62 tahun tergantung pada jenjangnya.
Budisatrio menekankan bahwa peningkatan usia pensiun ini tidak hanya mempertimbangkan aspek strategis, tetapi juga kesejahteraan prajurit. Banyak personel yang harus pensiun dalam kondisi masih memiliki tanggungan keluarga dan anak yang masih bersekolah. Dengan adanya revisi ini, negara memastikan bahwa pengabdian prajurit dihargai dengan kebijakan yang lebih berpihak pada kesejahteraan mereka.
Revisi UU TNI mencerminkan upaya nyata dalam menjaga supremasi sipil, memperkuat pertahanan negara sesuai perkembangan zaman, serta meningkatkan profesionalisme prajurit dalam menjalankan tugasnya. Perubahan ini bukan hanya bertujuan memperkuat TNI, tetapi juga memastikan institusi pertahanan tetap sejalan dengan nilai demokrasi dan kepentingan nasional secara menyeluruh. (*)
)* Penulis adalah pengamat kebijakan publik