Sumpah Pemuda Momentum Perkuat Kewaspadaan Terhadap Provokasi dan Disinformasi Digital
Sumpah Pemuda Momentum Perkuat Kewaspadaan Terhadap Provokasi dan Disinformasi Digital
Oleh: Ratna Soemira
Perayaan Hari Sumpah Pemuda selalu menjadi titik refleksi kebangsaan yang menegaskan kembali semangat persatuan dan kesatuan. Namun, pada era digital yang dipenuhi arus informasi tanpa batas, peringatan tersebut menemukan makna baru: menjadi momentum untuk memperkuat kewaspadaan terhadap provokasi dan disinformasi digital yang kian masif. Jika dahulu pemuda bersatu untuk mengusir penjajahan fisik, maka saat ini perjuangan bergeser pada upaya melawan penjajahan informasi yang dapat memecah belah bangsa.
Akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rully Nasrullah, menilai bahwa tantangan terbesar generasi muda saat ini adalah menjaga ketahanan berpikir di tengah derasnya arus informasi yang tidak terverifikasi.
Ia memandang penyebaran hoaks dan intoleransi seringkali menunggangi isu-isu sensitif seperti suku, agama, dan ras, karena topik semacam itu mudah memancing emosi publik. Ketika isu sensitif dimainkan oleh pihak tertentu, banyak orang cenderung bereaksi secara cepat tanpa melakukan verifikasi logis terhadap informasi yang diterima.
Menurutnya, peran generasi muda menjadi sangat penting karena kelompok ini paling aktif di media sosial, sekaligus paling rentan terhadap arus disinformasi yang menyusup melalui lingkaran pertemanan digital.
Ia menjelaskan bahwa konten bohong yang disebarkan di ruang maya sering kali dikemas dengan cara yang tampak meyakinkan, sehingga sulit dibedakan dari informasi faktual. Kondisi ini menuntut kedewasaan berpikir agar tidak terjebak pada reaksi emosional.
Rully menegaskan bahwa pemerintah bersama berbagai lembaga telah meluncurkan banyak inisiatif untuk memperkuat literasi digital. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, misalnya, membentuk tim penyusun panduan literasi digital bagi guru, siswa, dan orang tua.
Bahkan, berbagai media massa nasional telah mengikuti pelatihan dari Google mengenai cara memverifikasi informasi. Namun, ia menilai bahwa semua upaya tersebut akan sia-sia tanpa kesadaran personal dari pengguna media digital untuk menahan diri dan berpikir kritis sebelum bereaksi terhadap suatu isu.
Peringatan Hari Sumpah Pemuda tahun 2025 menegaskan kembali bahwa semangat kebangsaan tidak berhenti pada slogan “Satu Tanah Air, Satu Bangsa, Satu Bahasa,” tetapi juga harus diterjemahkan menjadi “Satu Etika Digital.”
Staf Ahli Bidang Hubungan Pusat, Daerah, dan Internasional Kementerian Pemuda dan Olahraga, Suyadi Pawiro, menilai bahwa semangat persatuan harus diwujudkan secara nyata dalam perilaku bermedia sosial. Ia menekankan pentingnya peran generasi muda sebagai garda terdepan dalam menjaga ruang publik digital yang sehat, aman, dan produktif.
Suyadi menjelaskan bahwa pemerintah terus memperluas pembinaan kepemudaan melalui penguatan karakter dan literasi digital. Langkah tersebut dianggap sebagai strategi jangka panjang untuk membentuk generasi yang tidak hanya unggul dalam pengetahuan, tetapi juga matang dalam moral. Literasi digital, menurutnya, berfungsi sebagai benteng pertahanan bangsa terhadap provokasi, ujaran kebencian, dan polarisasi sosial yang kerap ditimbulkan oleh penyebaran hoaks.
Bagi pemerintah, membangun karakter pemuda berarti membangun masa depan bangsa. Tantangan masa kini tidak lagi berupa kolonialisme fisik, melainkan kolonialisme informasi yang dapat memengaruhi cara berpikir dan perilaku masyarakat.
Arus propaganda ekstremis dan ideologi berbasis kekerasan yang beredar di internet menjadi ancaman nyata bagi stabilitas nasional. Pemuda menjadi sasaran empuk bagi kelompok tertentu untuk menyebarkan kebencian dan narasi radikal yang dibungkus dalam wacana kebebasan berpendapat.
Di sisi lain, pengamat media sosial Enda Nasution menyoroti fenomena banjir informasi yang dapat menimbulkan krisis jati diri. Ia menggambarkan situasi tersebut seperti seseorang yang duduk di meja makan penuh hidangan, lalu melahap semua tanpa seleksi. Akibatnya, terjadi “keracunan informasi” yang membuat seseorang kehilangan fokus, sulit berpikir jernih, bahkan mengalami tekanan psikologis seperti kecemasan dan depresi.
Enda menilai bahwa kurangnya kemampuan memilah informasi bukan hanya mengancam identitas budaya bangsa, tetapi juga dapat menimbulkan masalah sosial dan mental yang kompleks.
Oleh karena itu, keseimbangan antara konsumsi informasi dan fokus pada pengembangan diri menjadi hal yang esensial. Dengan kemampuan digital yang baik, pemuda dapat memanfaatkan teknologi bukan hanya untuk hiburan, tetapi juga sebagai sarana kolaborasi, edukasi, dan penguatan nilai kebangsaan.
Ia menekankan bahwa momentum Sumpah Pemuda seharusnya mendorong generasi muda untuk melakukan introspeksi: sejauh mana teknologi telah digunakan untuk memperkuat persatuan, bukan memperlebar perpecahan. Literasi digital harus berkembang dari sekadar kemampuan teknis menjadi kesadaran moral dalam menjaga ruang publik dari provokasi.
Dalam konteks tersebut, Sumpah Pemuda tidak lagi sekadar dikenang sebagai tonggak sejarah perjuangan fisik, tetapi juga sebagai inspirasi untuk perjuangan intelektual dan etika di dunia digital.
Persatuan yang dahulu diproklamasikan di Batavia kini menemukan medan barunya di ruang siber, tempat pemuda dituntut untuk menjadi penjaga moral bangsa di tengah badai disinformasi.
Momentum nasional ini menjadi pengingat bahwa semangat Sumpah Pemuda tidak boleh berhenti pada seremoni tahunan. Ia harus hadir dalam setiap unggahan media sosial, dalam setiap pilihan kata di ruang digital, dan dalam setiap tindakan yang memperkuat persatuan bangsa. Hanya dengan kewaspadaan kolektif terhadap provokasi dan disinformasi digital, semangat persatuan yang diikrarkan 97 tahun lalu akan tetap hidup dan relevan di era modern. (*)
Peneliti Masalah Sosial


