RUU Penyiaran Dorong Regulasi yang Relevan di Era Digital

RUU Penyiaran Dorong Regulasi yang Relevan di Era Digital

Jakarta — Pemerintah dan DPR tengah menggodok Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran guna merespons tantangan besar yang dihadapi industri media di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital. Upaya ini diharapkan dapat menghasilkan regulasi yang tidak hanya relevan dengan zaman, tetapi juga mampu menjaga ekosistem media yang sehat dan bebas.

 

Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi), Nezar Patria, menyampaikan harapannya agar pembahasan RUU Penyiaran dapat segera dipercepat. Ia menekankan pentingnya agar perubahan dalam UU tersebut mengakomodasi berbagai persoalan aktual yang kini dihadapi oleh industri media nasional.

 

“Revisi undang-undang penyiaran lagi dibahas di DPR, dan kita berharap pembahasannya juga bisa cepat, dan merangkum persoalan-persoalan yang sedang dialami oleh industri media sekarang ini,” ujar Nezar.

 

Ia juga menegaskan bahwa pemerintah tetap menjunjung tinggi prinsip kebebasan pers dan tidak memiliki niatan untuk mengekang ruang redaksi melalui revisi regulasi ini.

 

Nezar menyadari bahwa dinamika industri media saat ini telah bergeser signifikan dengan hadirnya berbagai platform digital yang tidak tunduk pada regulasi penyiaran konvensional. Oleh karena itu, pembaruan regulasi menjadi sangat penting agar aturan yang ada tetap relevan dan adil di tengah konvergensi media.

 

Sementara itu, pakar hukum dari Universitas Padjajaran, Prof. Ahmad M. Ramli, menyoroti pentingnya keberadaan kode etik khusus bagi platform digital. Ia menyebut bahwa Indonesia selama ini hanya memiliki kode etik jurnalistik dan belum memiliki perangkat etik yang secara spesifik mengatur perilaku dan konten di ranah digital.

 

“Jika ingin, maka undang-undang penyiaran yang akan datang seharusnya mengatur kode etik itu untuk mereka. Tetapi tentunya berbeda dengan kode etik yang untuk lembaga penyiaran,” jelasnya.

 

Prof. Ramli juga menambahkan bahwa ketiadaan kode etik ini dapat menimbulkan celah hukum. Ketika sebuah konten digital dianggap melanggar, maka sanksinya seringkali langsung diarahkan melalui UU lain seperti UU ITE, yang tidak selalu memiliki pendekatan etik atau edukatif.

 

Senada dengan itu, Pakar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Dr. Ignatius Haryanto, menekankan bahwa DPR dan pemerintah perlu memperhatikan keberlangsungan industri penyiaran melalui revisi UU ini. Ia mendorong lahirnya regulasi yang lebih tegas terhadap platform digital, sembari mendorong terciptanya ekosistem media yang sehat dan sejahtera.

 

“Perlu ada pemerintah dan DPR dalam rangka memelihara tumbuhnya industri penyiaran, industri pers yang sehat yang juga menyejahterakan bagi mereka yang bekerja di dalam industri tersebut,” ujar Ignatius.

 

RUU Penyiaran ini diharapkan dapat menjadi momentum penting dalam membentuk arsitektur penyiaran dan media digital Indonesia yang adaptif terhadap zaman, namun tetap menjunjung tinggi prinsip demokrasi, keberagaman, serta perlindungan terhadap masyarakat dari konten yang merugikan.

 

Dengan kolaborasi berbagai pihak dan pendekatan yang komprehensif, regulasi baru ini diharapkan tidak hanya memperkuat peran lembaga penyiaran konvensional, tetapi juga memberikan kepastian hukum dan etika bagi platform digital yang semakin mendominasi lanskap informasi publik. (*)

 

 

 

[ed]