Revisi UU Cipta Kerja Ciptakan Kemudahan Berusaha di Daerah
Oleh : Deka Prawira
Kemudahan dalam berusaha menjadi isu penting yang tidak bisa diabaikan, mudahnya mengurus perizinan tentu akan berdampak pada akselerasi perkembangan industri di Indonesia tak terkecuali di daerah-daerah.
Revisi Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tentunya harus diikuti dengan perbaikan sistematis UU Cipta Kerja dan peraturan-peraturan turunannya.
Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan keputusan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, pemerintah dan DPR berkomitmen untuk merevisi UU tersebut sesuai dengan putusan MK.
Revisi ini akan semakin penting jika mengingat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah memberikan alarm terkait mandeknya investasi bernilai triliunan rupiah lantaran pelayanan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (PKKPR) darat (Rp 115,45 triliun) dan persetujuan lingkungan (Rp 10,73 triliun) tidak dapat diproses melalui sistem pelayanan elektronik online single submission risk based approach (OSS RBA).
Hal ini menunjukkan bahwa UU Cipta kerja merupakan rumusan regulasi yang harus diperjuangkan demi kemajuan Indonesia.
UU Cipta kerja merupakan proyek yang bertujuan untuk merampingkan regulasi yang tumpang tindih, proyek ini juga bertujuan untuk mengatasi obesitas regulasi yang terkait dengan perizinan berusaha.
Kajian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD, 2019) juga merekomendasikan pendekatan omnibus law dalam mengatasi sengkarut regulasi perizinan. Kehadiran beleid ini pun bak oase di tengah upaya pemerintah dalam meningkatkan peringkat kemudahan berusaha (ease of doing bussiness/EoDB) dan daya saing daerah berkelanjutan yang masih menunjukkan kinerja rendah (KPPOD, 2020).
Selain menyimplikasi jumlah acuan regulasi, UU sapu jagat ini juga mengubah paradigma layanan perizinan dari berbasis izin menjadi berbasis risiko.
Targetnya, revisi UU Cipta Kerja ini akan selesai pada tahun ini. Pemerintah dan DPR memiliki batas waktu maksimal dua tahun sejak amar putusan dibacakan pada 25 November 2021. Jika dalam waktu tersebut pemerintah dan DPR tidak kunjung melakukan perbaikan, UU Cipta Kerja akan dinyatakan inkonstitusional atau melanggar konstitusi secara permanen. Sehingga hukum tersebut tidak bisa berjalan.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menjamin investasi di Indonesia mempunyai kepastian hukum. Meskipun MK telah memutuskan bahwa UU Cipta Kerja Inkonstitusional bersyarat.
Mahfud menuturkan, pemerintah menjamin investasi yang telah ditanam di Indonesia akan tetap aman dan memiliki kepastian hukum. Investasi yang dibuat secara sah tentu saja tidak bisa dibatalkan. Perjanjian yang telah dibuat secara sah itu berlaku sebagai undang-undang oleh karenanya tak bisa dicabut begitu saja lantaran telah bersifat mengikat.
UU Ciptaker merupakan regulasi yang sangat ditunggu pemerintah. Sebab, perbaikan UU Ciptaker diharapkan dapat mempercepat pemulihan ekonomi yang saat ini mendapat banyak tantangan dari perkembangan situasi global.
Mahkamah Konstitusi juga telah memerintahkan agar landasan hukum terpadu segera disusun. Hal ini dapat menjadi pedoman bagi pembentukan hukum sesuai dengan metode omnibus law.
Undang-undang Cipta Kerja diubah untuk memenuhi cara atau metode tertentu yang baku dan standar, terutama azas pembentukan hukum, yaitu azas keterbukaan dengan memasukkan partisipasi masyarakat yang maksimal dan bermakna.
Ke depannya, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pembentuk UU Cipta Kerja akan melaksanakan meaningfull participation atau meningkatkan partisipasi publik dengan tiga pilar. Yakni, hak untuk didengarkan pendapatnya, hak untuk mendapatkan penjelasan dan hak untuk dipertimbangkan pendapatnya.
Sementara dari sisi pemerintah, terutama kementerian/lembaga (K/L) sebagai pembina sektor, akan terus meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan UU Cipta Kerja untuk mendapatkan berbagai masukan yang akan diinventarisasi apakah berkaitan dengan substansi dalam rumusan atau sifatnya hanya implementasi di lapangan.
Jika sifatnya hanya implementasi di lapangan, kemungkinan akan berbentuk rumusan yang ada dalam peraturan pelaksanaan, seperti di peraturan menteri dan/atau sistem pelaksanaannya. Setelah Agustus 2022, akan dilihat apakah waktu inventarisasi dari pengawasan cukup atau perlu penambahan waktu.
Jika waktu dirasa kurang, akan ada arahan untuk menambah waktu pelaksanaan pengawasan UU Cipta Kerja, yang diharapkan dapat memberikan masukan bagaimana pembentuk UU untuk melakukan perbaikan dalam UU Cipta Kerja. Jika proses perbaikan telah rampung dan telah melewati tahapan lainnya, nanti akan dilakukan pengesahan kembali revisi UU Cipta kerja tersebut melalui rapat paripurna DPR.
Revisi UU Cipta Kerja tentu saja akan memberikan beragam kemudahan bagi para pengusaha, tak terkecuali yang ada di daerah yang didominasi oleh pelaku UMKM. Dengan adanya UU Cipta Kerja, pelaku UMKM akan mendapatkan dukungan agar pelaku UMKM mampu mengembangkan usahanya dengan regulasi yang tidak tumpang tindih.
Pemerintah daerah tentu saja perlu mendukung upaya pemerintah dan DPR, agar Revisi UU Cipta Kerja mampu menciptakan kemudahan berusaha di daerah yang diharapkan akan berimplikasi pada menguatnya perekonomian di daerah.
)* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini