Perekonomian Indonesia Masih Stabil Di Tengah Resesi Global
Oleh : Dian Ahadi
Di tengah resesi ekonomi global, tidak sedikit harga komoditas mengalami kenaikan atau penurunan secara cepat, seperti minyak, batu bara, gas, CPO, gandum, kedelai dan lainnya. Hal ini ditambah dengan adanya tekanan inflasi di AS yang memaksa The Fed menaikkan suku bunga.
Meski demikian Ekonomi Indonesia masih kuat dan stabil untuk terus bertahan meski resesi global tak bisa dihindari.
Jika sebelumnya negara-negara menghadapi risiko akibat pandemi, saat ini bergeser menjadi risiko tekanan ekonomi global karena ada tekanan inflasi akibat banyak faktor, seperti kurangnya suplai dan perang. Perry Warjiyo selaku Gubernur Bank Indonesia (BI) terus memperkuat bauran kebijakan guna menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan perekonomian Indonesia di tengah kondisi ekonomi global yang dibayangi oleh ketidakpastian.
Di bidang moneter, BI mempertahankan suku bunga acuan atau BI-7 days reverse repo rate (BI7DRRR) pada level 3,5 persen per Juli 2022. Perry menilai keputusan tersebut konsisten dengan perkiraan inflasi inti yang masih terjaga rendah di tengah risiko dampak perlambatan ekonomi global terhadap pertumbuhan ekonomi di dalam negeri.
BI terus mewaspadai risiko kenaikan ekspektasi inflasi dan inflasi inti ke depan serta memperkuat bauran kebijakan moneter yang diperlukan baik melalui stabilisasi nilai tukar rupiah, penguatan operasi moneter maupun suku bunga. Menurutnya, BI memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah sebagai bagian untuk pengendalian inflasi melalui intervensi di pasar valas, yang didukung dengan penguatan operasi moneter.
Selain itu, bank sentral juga memperkuat operasi moneter sebagai langkah preventif dan forward looking untuk memitigasi risiko kenaikan ekspektasi inflasi dan inflasi inti ke depan. Hal itu dilakukan melalui kenaikan struktur bunga di pasar uang khususnya untuk tenor-tenor di atas 1 minggu hingga 1 tahun serta penjualan surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder untuk tenor-tenor di bawah 10 tahun atau jangka pendek. Perry mengungkapkan, bahwa BI juga melakukan normalisasi kebijakan likuiditas melalui kenaikan GWM (giro wajib minimum) rupiah secara bertahap dan pemberian insentif GWM yang berlangsung tanpa mengganggu kondisi likuiditas dan intermediasi perbankan.
BI mencatat, penyesuaian secara bertahap GWM rupiah dan pemberian insentif GWM sejak 1 Maret hingga 15 Juli 2022 menyerap likuiditas perbankan sekitar Rp 219 triliun. Yang harus dipahami adalah penyerapan likuiditas tersebut tidak akan mengganggu kemampuan perbankan dalam penyaluran kredit pembiayaan kepada dunia usaha dan partisipasi dalam pemberian SBN untuk pembiayaan APBN lantaran likuiditas perbankan saat ini masih berlebih. Hal ini, lanjutnya antara lain ditunjukkan dengan aset likuid per DBK yang masih tinggi.
Penyaluran kredit dan pembiayaan perbankan kepada dunia usaha juga terus menunjukkan pemulihan, dengan kecukupan likuiditas yang terjaga tersebut. Kemudian, dalam rangka pelaksanaan kesepakatan bersama BI dan Kementerian Keuangan dalam rangka menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi, BI hingga 20 Juli 2022 melanjutkan pembelian SBN di pasar perdana sejalan dengan program pemulihan ekonomi serta pembiayaan penanganan kesehatan dan kemanusiaan dalam rangka penanganan kesehatan dan kemanusiaan dalam rangka penanganan dampak pandemi Covid-19 dengan nilai sebesar Rp 56,11 triliun.
Sementara itu, Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa saat ini Indonesia tengah dihadapi oleh berbagai tantangan eksternal, mulai dari Amerika Serikat (AS) yang mengalami resesi dan pertumbuhan ekonomi China yang juga mengalami pertumbuhan negatif. Tensi geopolitik Rusia-Ukraina juga turut memperparah gejolak harga di seluruh dunia, mengingat kedua negara tersebut merupakan produsen terbesar energi dan pangan di dunia, termasuk pupuk.
Pelemahan ekonomi di AS dan China juga harus diwaspadai oleh Sri Mulyani, ia mengungkapkan, AS negatif growth Kuartal II, technically masuk resesi. Tiongkok seminggu yang lalu keluar dengan growth kuartal II yang nyaris. Hal tersebut tentu saja ada hubungannya dengan Indonesia, di mana AS, Tiongkok dan Eropa merupakan negara-negara tujuan ekspor Indonesia. Sehingga, kalau mereka melemah, permintaan ekspor akan menurun dan harga komoditas juga akan turun.
Meski ekonomi Indonesia terbilang tangguh jika dilihat dari APBN surplus di bulan Juni sebesar Rp 73,6 triliun atau 0,39% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), Sri Mulyani tidak ingin merasa jumawa. Menurut Sri, situasi masih cair dan dinamis, berbagai kemungkinan bisa terjadi dengan kenaikan suku bunga, capital outflow terjadi di seluruh negara berkembang dan emerging, termasuk Indonesia, dan bisa mempengaruhi nilai tukar, suku bunga dan inflasi di Indonesia.
Resesi ekonomi global menjadi ancaman tersendiri di beberapa negara, bahkan negara besar sekalipun. Tensi geopolitik serta naiknya suku bunga acuan menjadikan beberapa negara mencatatkan pertumbuhan negatif selama dua kuartal dalam tahun yang sama. Meski demikian Indonesia tergolong tangguh dalam menghadapi hal ini dan tidak akan jumawa karena di tengah situasi ini, segala kemungkinan bisa terjadi.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi institute