Penyusunan RUU KUHAP Selaras dengan Struktur dan Fungsi Tiap Lembaga Hukum
Oleh: Esari Nisa
Pembaruan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) yang sedang disusun oleh pemerintah dan DPR RI menjadi momentum penting dalam memperkuat sistem peradilan pidana nasional. Penyusunan RUU KUHAP ini dirancang tidak hanya untuk menyesuaikan dengan dinamika hukum kontemporer, tetapi juga untuk memastikan bahwa struktur serta fungsi dari masing-masing lembaga penegak hukum berada dalam koridor yang tepat, efisien, dan profesional. Penyelarasan tersebut menjadi pondasi utama dalam menjaga integritas, efektivitas, dan sinergi antar lembaga hukum dalam proses penegakan hukum.
Salah satu tokoh penting yang menaruh perhatian besar terhadap penyusunan RUU KUHAP adalah Wakil Menteri Hukum dan HAM, Prof. Edward Omar Sharif Hiariej. Ia menegaskan pentingnya diferensiasi fungsional dalam sistem hukum pidana Indonesia. Dalam pandangannya, pemisahan yang tegas antara fungsi penyidikan yang menjadi domain Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan fungsi penuntutan yang menjadi kewenangan Kejaksaan merupakan prinsip utama dalam menjaga keteraturan proses hukum. Pandangan ini mencerminkan keyakinan bahwa tugas penyidik tidak boleh bercampur dengan kewenangan penuntut umum, demi menjamin objektivitas dan menghindari konflik kepentingan dalam proses penegakan hukum.
Kejelasan peran ini menjadi semakin penting karena sistem peradilan pidana yang terintegrasi hanya akan berfungsi dengan baik jika setiap institusi memahami dan menjalankan fungsi masing-masing. Dalam sistem tersebut, Polri bertindak sebagai penyidik utama yang bertanggung jawab terhadap pengumpulan alat bukti dan pelaksanaan penyelidikan maupun penyidikan.
Di sisi lain, Kejaksaan sebagai penuntut umum berperan membawa perkara ke ranah peradilan. Dalam sistem ini pula, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) ditempatkan sebagai pelaksana pendukung yang tetap berada dalam koordinasi dan pengawasan Polri. Dengan demikian, sistem yang dibangun menjunjung prinsip kerja sama yang solid antar lembaga tanpa mengaburkan batas kewenangan masing-masing.
Konsep ini diperkuat oleh pendapat akademisi hukum Universitas Airlangga, Prof. Sri Winarsi, yang melihat bahwa sejumlah pasal dalam draf RUU KUHAP telah mengakomodasi semangat diferensiasi tersebut. Dalam pasal-pasal tersebut terlihat adanya upaya sistematis untuk menghindari tumpang tindih kewenangan dan memastikan bahwa kerja antar lembaga dilakukan dalam kerangka koordinasi profesional. Baginya, pembagian tugas yang jelas tidak hanya akan menghindarkan konflik, tetapi juga meningkatkan efisiensi dalam pelaksanaan hukum secara menyeluruh.
RUU KUHAP juga mendapat perhatian dari kalangan akademisi yang lebih luas, seperti yang tercermin dalam rekomendasi hasil workshop yang disampaikan oleh Prof. Dr. Amir Ilyas dari Universitas Hasanuddin. Dalam forum ilmiah yang dihadiri berbagai kalangan, disimpulkan bahwa KUHAP baru harus didasarkan pada prinsip pembagian fungsi secara tegas antara lembaga penyidik dan penuntut umum. Rekomendasi tersebut menolak prinsip dominis litis diterapkan secara kaku, dan sebaliknya mendukung otonomi terbatas yang terukur bagi masing-masing institusi. Amir mengingatkan bahwa independensi dalam penyidikan oleh Polri dan penuntutan oleh Kejaksaan merupakan kunci dalam menjaga kepercayaan publik terhadap sistem hukum.
Namun demikian, ia juga mencatat bahwa terdapat sejumlah pasal dalam RUU KUHAP yang dinilai berpotensi melemahkan independensi Polri sebagai penyidik. Karena itu, ia mendorong agar pasal-pasal tersebut dikaji ulang dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, terutama dari internal lembaga yang terdampak langsung. Hal ini menjadi wujud dari pendekatan partisipatif dalam pembentukan hukum yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas.
Pentingnya menjaga struktur fungsional yang selaras dalam RUU KUHAP ini tidak dapat dipisahkan dari prinsip good governance dalam sektor hukum. Pemerintah dalam hal ini menunjukkan komitmennya untuk tidak hanya menyusun regulasi baru, tetapi juga memastikan bahwa regulasi tersebut dapat diimplementasikan secara efektif oleh institusi-institusi yang terlibat. Menempatkan Polri, Kejaksaan, dan PPNS pada posisi yang sesuai dengan fungsi dan wewenangnya masing-masing merupakan bagian dari upaya menciptakan sistem hukum yang responsif dan berorientasi pada keadilan substantif.
Sinergi antar lembaga penegak hukum yang didorong oleh penyusunan RUU KUHAP menjadi titik temu dari prinsip efisiensi dan akurasi dalam penegakan hukum. Dengan memastikan bahwa penyidikan tetap menjadi ranah Polri dan penuntutan menjadi kewenangan Kejaksaan, maka proses hukum akan berjalan dalam kerangka checks and balances yang sehat. Dalam situasi ini, tidak ada lembaga yang memiliki kekuasaan absolut, tetapi masing-masing memiliki otonomi terbatas yang disertai dengan mekanisme pengawasan horizontal.
Dengan segala dinamika dan tantangan yang dihadapi sistem peradilan pidana nasional, penyusunan RUU KUHAP menjadi langkah strategis dalam merespons kebutuhan zaman. Regulasi ini bukan semata-mata perubahan teknis hukum acara, melainkan juga cerminan dari tekad negara membangun sistem hukum yang lebih adil, transparan, dan akuntabel. Integrasi antara profesionalisme kelembagaan dan pembaruan norma hukum akan mendorong penegakan hukum yang lebih konsisten dan berorientasi pada keadilan substantif. RUU KUHAP diharapkan tidak hanya menjadi fondasi hukum yang kuat, tetapi juga menjadi katalisator terciptanya peradilan yang lebih humanis, demokratis, serta sesuai dengan nilai-nilai keindonesiaan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keadilan sosial.
)* Pemerhati Dunia Hukum