Pemerintah Perangi Pencucian Uang Lewat Pemantauan Rekening Dormant

Pemerintah Perangi Pencucian Uang Lewat Pemantauan Rekening Dormant

Oleh: Bambang Artha Wiguna

Upaya pemerintah dalam memerangi kejahatan keuangan, khususnya tindak pidana pencucian uang (TPPU), terus diperkuat melalui berbagai langkah strategis. Salah satu langkah mutakhir yang diambil adalah kebijakan penghentian sementara rekening dormant atau rekening pasif yang sudah tidak aktif selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Kebijakan ini digulirkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai bentuk perlindungan terhadap masyarakat sekaligus penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan yang kerap memanfaatkan celah dalam sistem perbankan.

 

Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana menjelaskan bahwa kebijakan ini telah dimulai sejak 15 Mei 2025 sebagai implementasi dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Menurutnya, langkah penghentian sementara rekening dormant adalah manifestasi kehadiran negara dalam melindungi hak-hak masyarakat sebagai pemilik rekening. Meski rekening dinonaktifkan sementara, hak atas dana yang tersimpan tetap dijamin dan dilindungi sepenuhnya oleh negara. Hal ini penting ditegaskan untuk meredam kekhawatiran publik bahwa langkah ini merupakan bentuk penyitaan dana oleh otoritas.

 

Faktanya, rekening dormant yang tidak diakses dalam jangka waktu yang lama sangat rentan untuk disalahgunakan. PPATK mencatat, maraknya kasus rekening nasabah yang diperjualbelikan, diretas, disalahgunakan, hingga dana nasabah lenyap tanpa jejak menjadi sorotan serius. Bahkan lebih dari 140 ribu rekening tidak aktif selama lebih dari satu dekade ditemukan, dengan nilai dana mencapai Rp428,61 miliar. Celah inilah yang kerap dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan siber dan sindikat pencucian uang.

 

Langkah PPATK ini bukanlah tindakan sepihak. Data rekening dormant diperoleh dari perbankan, bukan ditentukan secara mandiri oleh PPATK. Di sisi lain, nasabah yang terdampak kebijakan ini diberikan akses penuh untuk mengajukan pengaktifan kembali rekeningnya melalui bank atau langsung kepada PPATK. Proses aktivasi ulang pun terbilang mudah dan cepat, selama dapat diverifikasi secara sah bahwa pemilik rekening adalah pihak yang berhak atas dana tersebut.

 

Pengawasan terhadap rekening dormant juga diperkuat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menegaskan bahwa pihaknya telah meminta bank-bank untuk melakukan pelaporan terhadap aktivitas mencurigakan pada rekening dormant. Ini mencakup analisis terhadap transaksi yang dilakukan oleh terduga pelaku kejahatan serta pelacakan aliran dana yang masuk maupun keluar. OJK pun turut mendukung langkah pemblokiran dengan meminta bank melakukan penutupan terhadap rekening-rekening yang teridentifikasi berdasarkan kesesuaian Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan menerapkan prosedur enhance due diligence untuk meningkatkan akurasi pemeriksaan.

 

Hingga pertengahan 2025, tercatat lebih dari 17.000 rekening telah diblokir berdasarkan laporan dari Kementerian Komunikasi dan Digital. Angka ini menjadi indikator bahwa kejahatan berbasis keuangan digital terus berkembang dan membutuhkan sistem pengawasan yang lebih adaptif.

 

Dukungan terhadap langkah ini juga datang dari legislatif. Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Rano Alfath, menilai kebijakan pemblokiran rekening dormant sebagai strategi yang relevan dan strategis dalam penegakan hukum, khususnya terhadap kejahatan pencucian uang dan judi online. Ia melihat kebijakan ini sebagai bentuk early warning tool, yakni alat peringatan dini yang bisa menghambat tindak kejahatan sebelum terjadi.

 

Rano juga menyoroti maraknya praktik jual-beli rekening di platform digital seperti marketplace yang kian mengkhawatirkan. Banyak masyarakat tidak menyadari bahwa data pribadinya telah dijualbelikan atau digunakan untuk kepentingan ilegal. Dalam konteks ini, kebijakan penghentian sementara rekening dormant dapat menjadi benteng awal yang melindungi masyarakat dari potensi menjadi korban atau bahkan terseret dalam kejahatan keuangan tanpa mereka sadari.

 

Langkah PPATK juga mendapat legitimasi dari sisi hukum. Tidak ada pelanggaran dalam pelaksanaan kebijakan ini, sebab tindakan tersebut sejalan dengan koridor hukum yang diatur dalam UU TPPU. Penting pula digarisbawahi bahwa tidak ada penyitaan dana oleh negara. Dana tetap menjadi milik nasabah, hanya saja transaksi dihentikan sementara sambil dilakukan verifikasi.

 

Namun demikian, langkah ini tetap perlu dijalankan dengan prinsip kehati-hatian dan transparansi. Pemerintah dan otoritas terkait tetap menjamin bahwa proses pemblokiran dilakukan secara objektif, proporsional, dan tidak menimbulkan ketidaknyamanan yang berlebihan di tengah masyarakat. Sosialisasi yang masif juga penting dilakukan agar publik memahami tujuan dan mekanisme dari kebijakan ini, sehingga tidak menimbulkan kebingungan atau kepanikan.

 

Secara keseluruhan, pemantauan terhadap rekening dormant merupakan langkah konkret pemerintah dalam memperkuat sistem keuangan nasional dari ancaman pencucian uang dan kejahatan digital lainnya. Di era di mana teknologi informasi berkembang pesat dan celah-celah kejahatan menjadi makin kompleks, pengawasan terhadap transaksi keuangan harus diperkuat tanpa mengesampingkan prinsip keadilan dan perlindungan terhadap masyarakat.

 

Dengan sinergi antara PPATK, OJK, DPR, serta institusi perbankan, upaya ini diharapkan tidak hanya menekan potensi kejahatan, tetapi juga meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan nasional. Penanganan rekening dormant merupakan contoh nyata bagaimana negara hadir untuk melindungi rakyatnya dan menciptakan ekosistem keuangan yang aman, bersih, dan berintegritas.

 

)* penulis merupakan pengamat kebijakan publik

 

 

 

[ed]