Pemerintah Perangi Judi Daring Demi Wujudkan Keadilan Sosial

Pemerintah Perangi Judi Daring Demi Wujudkan Keadilan Sosial

Oleh : Zaki Walad

Judi daring kini bukan sekadar masalah hukum, melainkan ancaman serius terhadap keadilan sosial. Ketika dana bantuan sosial untuk masyarakat miskin mulai tercemar praktik perjudian digital, saatnya seluruh elemen bangsa bergerak bersama untuk menanggulanginya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Masifnya praktik judi daring di Indonesia telah menjelma menjadi persoalan serius yang tak lagi bisa dipandang sebelah mata. Ancaman ini tidak hanya menyasar kalangan dewasa atau anak muda yang melek digital, tetapi kini telah merambah hingga ke kelompok rentan, termasuk para penerima bantuan sosial. Fakta terbaru yang diungkap oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sungguh mencengangkan: lebih dari 571 ribu Nomor Induk Kependudukan (NIK) penerima bansos terindikasi melakukan transaksi judi daring dengan total nilai setoran hampir Rp1 triliun. Kondisi ini mengancam akurasi penyaluran bantuan negara kepada mereka yang benar-benar membutuhkan dan menjadi cerminan bahwa perang melawan judi daring harus dilakukan secara menyeluruh dan melibatkan semua elemen bangsa.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Langkah cepat pemerintah dalam menanggapi temuan ini patut diapresiasi. Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Kemenko Polkam) bersama Kementerian Sosial, PPATK, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Badan Pusat Statistik (BPS), Komisi Informasi Digital (Komidigi), dan Kementerian Dalam Negeri telah melakukan pembahasan lintas sektor untuk memastikan bahwa sistem bansos tidak dijadikan celah penyalahgunaan oleh pelaku judi daring. Menurut Asisten Deputi Koordinasi Perlindungan Data dan Transaksi Elektronik Kemenko Polhukam, Syaiful Garyadi, pihaknya telah meminta Kementerian Sosial untuk menelusuri dan meneliti ulang rekening-rekening yang mencurigakan agar segera diambil tindakan korektif.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tindakan awal berupa pemblokiran sementara terhadap penerima bansos triwulan kedua yang terindikasi terlibat judi daring merupakan sinyal tegas bahwa negara tidak mentolerir penyimpangan yang mencederai semangat keadilan sosial. Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kemensos, Agus Zainal, menyampaikan bahwa langkah ini merupakan bagian dari evaluasi dan mitigasi yang lebih luas. Namun, ia juga menekankan pentingnya verifikasi di lapangan karena bisa jadi terdapat penerima bansos yang hanya menjadi korban penyalahgunaan data atau bahkan tidak menyadari bahwa rekening mereka digunakan untuk aktivitas terlarang.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kondisi ini menjadi refleksi bahwa pemberantasan judi daring bukan hanya soal membatasi akses ke situs-situs ilegal atau memblokir rekening terduga pelaku, melainkan juga memperkuat literasi digital masyarakat, khususnya kelompok rentan. Judi daring kerap menjebak korban dengan pendekatan psikologis yang licik, menawarkan iming-iming keuntungan instan dan cepat, tetapi pada akhirnya justru menjebloskan pelakunya dalam jurang kemiskinan baru. Ketika kelompok penerima bansos pun tergoda oleh rayuan ini, maka dapat dipastikan bahwa masalah ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga persoalan sosial dan moral yang mendalam.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pemerintah, dalam hal ini Kemenkopolkam secara tegas menjadikan pemberantasan judi daring sebagai agenda prioritas pembangunan nasional. Upaya ini memerlukan pendekatan yang terkoordinasi, sistematis, dan berkesinambungan, serta melibatkan seluruh pemangku kepentingan di pusat maupun daerah. Koordinasi antarinstansi menjadi kunci, namun yang tidak kalah penting adalah keterlibatan masyarakat dalam menjaga ruang digital yang sehat dan bersih dari praktik ilegal.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Trubus Rahardiansyah, pengamat kebijakan publik, mengingatkan bahwa pelanggaran oleh penerima bansos tidak boleh dibiarkan. Ia menilai pemerintah daerah harus berani mengambil tindakan tegas meskipun belum ada aturan eksplisit yang mengatur penghapusan data penerima bansos yang terbukti berjudi. Penegakan sanksi, menurut Trubus, harus dilakukan demi menjamin bahwa bansos tidak disalahgunakan oleh mereka yang sebenarnya sudah mampu, tetapi tetap menerima bantuan karena kelalaian sistem.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Memang, dibutuhkan kehati-hatian dalam memilah mana penerima bansos yang benar-benar bermain judi daring dan mana yang hanya menjadi korban atau tak tahu-menahu soal transaksi yang tercatat atas namanya. Namun prinsip dasarnya tetap sama: negara tidak boleh kalah oleh praktik ilegal yang merusak struktur sosial dan keuangan keluarga miskin. Judi daring bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan juga pengingkaran terhadap solidaritas sosial yang menjadi landasan program bantuan sosial pemerintah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pemerintah telah berada di jalur yang tepat dalam merespons situasi ini. Namun upaya ini tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri. Perlu dukungan luas dari masyarakat untuk ikut terlibat dalam pemberantasan judi daring, baik melalui pelaporan aktivitas mencurigakan, penyuluhan di tingkat komunitas, hingga pendampingan digital di lingkungan terdekat. Kesadaran kolektif untuk menciptakan ruang digital yang sehat akan menjadi tembok kokoh yang melindungi kelompok rentan dari jeratan judi daring.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Akhirnya, apresiasi layak diberikan kepada pemerintah yang telah bertindak cepat dan serius dalam menghadapi penyalahgunaan bansos oleh pelaku judi daring. Ini menunjukkan bahwa negara hadir dan tidak tinggal diam ketika integritas program sosialnya terancam. Namun perjuangan ini belum selesai. Kita semua, sebagai warga negara, memiliki tanggung jawab moral untuk mengambil bagian dalam perang melawan judi daring. Karena hanya dengan kebersamaan, keadilan sosial bisa benar-benar terwujud dan ruang digital Indonesia menjadi tempat yang aman, sehat, dan berkeadaban.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute