Pemerintah Pastikan Reformasi Pajak Sesuai Aspirasi Publik 17+8

Pemerintah Pastikan Reformasi Pajak Sesuai Aspirasi Publik 17+8

Oleh : Riky Afreza

Pemerintah menegaskan bahwa reformasi pajak yang tengah disusun tidak hanya berorientasi pada kepentingan fiskal negara, tetapi juga mencerminkan aspirasi publik yang terangkum dalam tuntutan “17+8” dari kalangan pekerja dan pelaku usaha. Dalam beberapa bulan terakhir, wacana reformasi perpajakan sempat menuai pro dan kontra, terutama karena kekhawatiran akan beban tambahan bagi masyarakat kelas menengah dan pelaku UMKM. Namun, pemerintah menyatakan bahwa seluruh langkah yang diambil akan mempertimbangkan keadilan sosial, perlindungan daya beli, dan kepastian hukum agar tidak menimbulkan gejolak ekonomi maupun sosial.

 

Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan reformasi bidang pajak akan segera dilakukan dan tidak akan ada kenaikan di tahun 2026. Pemerintah akan lebih memprioritaskan peningkatan kepatuhan wajib pajak, dan perbaikan tata kelola untuk mengatrol penerimaan negara. Pemerintah akan memperluas basis pajak melalui pemetaan ekonomi bayangan alias aktivitas yang tidak dilaporkan demi menghindari pajak, perbaikan administrasi, dan layanan wajib pajak. Kebijakan ini diharapkan dapat berperan dalam menjaga daya beli masyarakat yang menjadi kunci pemulihan ekonomi nasional.

 

Langkah reformasi ini diklaim sebagai upaya modernisasi sistem perpajakan agar lebih adil, transparan, dan efisien. Pemerintah menyoroti bahwa selama ini penerimaan pajak masih sangat bergantung pada segmen tertentu, sementara tingkat kepatuhan pajak relatif rendah di sektor-sektor lain. Dengan basis data yang semakin terintegrasi dan digitalisasi layanan pajak, reformasi diharapkan dapat memperluas basis pajak tanpa membebani kelompok rentan. Pemerintah pun membuka ruang partisipasi publik dengan mengundang masukan dari serikat buruh, asosiasi pengusaha, hingga akademisi agar kebijakan yang dirumuskan betul-betul mencerminkan kebutuhan masyarakat.

 

Sebelumnya, salah satu poin penting dalam aspirasi “17+8” yang diajukan kalangan pekerja adalah jaminan bahwa reformasi pajak tidak menjadi dalih untuk menekan upah atau mengurangi perlindungan tenaga kerja. Pemerintah menegaskan bahwa tidak ada rencana untuk mengenakan pajak baru atas upah pekerja berpenghasilan rendah, dan bahkan sedang merancang insentif bagi perusahaan yang meningkatkan kesejahteraan pegawainya. Pendekatan ini disebut sebagai strategi win-win solution, di mana pemerintah memperoleh tambahan penerimaan tanpa mengorbankan hak-hak dasar pekerja. Komitmen ini diharapkan mampu meredakan kekhawatiran kalangan buruh yang selama ini cemas reformasi justru akan memberatkan mereka.

 

Selain itu, aspirasi “17+8” juga memuat desakan agar reformasi pajak diarahkan untuk memperkuat sektor UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Pemerintah menanggapi hal ini dengan menyiapkan skema penyederhanaan administrasi pajak serta perluasan insentif fiskal agar UMKM dapat lebih leluasa berkembang. Dengan langkah ini, pemerintah berharap iklim usaha menjadi lebih kondusif, investasi meningkat, dan kesempatan kerja baru tercipta. Prinsip keberpihakan pada sektor riil ini dinilai penting agar reformasi pajak tidak hanya bersifat fiskal teknokratis, tetapi juga berdampak langsung pada penguatan ekonomi rakyat.

Dalam konteks global, pemerintah juga menyadari perlunya harmonisasi pajak agar Indonesia tetap kompetitif di tengah dinamika ekonomi dunia. Beberapa negara tengah melakukan reformasi serupa untuk mengantisipasi pergeseran rantai pasok dan digitalisasi ekonomi, sehingga Indonesia tidak boleh tertinggal. Meski demikian, pemerintah menekankan bahwa keterbukaan investasi asing tidak boleh mengorbankan kepentingan nasional. Karena itu, reformasi pajak diarahkan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat, adil, dan kompetitif tanpa mengurangi perlindungan bagi pekerja lokal dan industri dalam negeri.

 

Sejumlah kalangan akademisi memandang langkah pemerintah ini sebagai momentum penting untuk memperbaiki struktur penerimaan negara yang selama ini cenderung rapuh terhadap guncangan ekonomi. Dengan basis pajak yang lebih luas dan kepatuhan yang lebih tinggi, APBN diharapkan menjadi lebih tangguh dalam membiayai program pembangunan dan perlindungan sosial. Di sisi lain, pemerintah juga didorong untuk memperkuat mekanisme pengawasan agar potensi penyalahgunaan wewenang atau praktik korupsi dalam administrasi pajak dapat ditekan seminimal mungkin. Transparansi dan akuntabilitas dinilai menjadi kunci keberhasilan reformasi ini.

 

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani menanggapi pernyataan pemerintah yang memastikan tidak ada penerapan pajak baru maupun kenaikan tarif pajak pada 2026. Mereka menilai kepastian kebijakan perpajakan menjadi salah satu faktor penting dalam menjaga stabilitas usaha. Langkah pemerintah memaksimalkan penerimaan negara melalui peningkatan kepatuhan dan perbaikan mekanisme pajak dinilai lebih tepat dibanding menambah beban baru.

 

Sementara itu, Ketua Forum Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) Daerah Istimewa Yogyakarta, Waljid Budi Lestarianto, menyambut baik langkah pemerintah tidak mengenakan pajak baru pada tahun 2026 mendatang. Kebijakan ini dinilai sejalan dengan upaya menjaga daya beli masyarakat di tengah tantangan ekonomi, sosial, dan politik yang masih berlangsung. Pihaknya mengusulkan moratorium atau penundaan kenaikan tarif CHT selama tiga tahun ke depan sebagai langkah strategis untuk menjaga stabilitas ekonomi dan keberlangsungan industri, apalagi ditengah maraknya peredaran rokok ilegal dan melemahnya daya beli masyarakat.

 

Pada akhirnya, reformasi pajak bukan hanya soal menggenjot penerimaan negara, tetapi juga menciptakan sistem yang adil, berpihak pada rakyat, dan berkelanjutan. Dengan mengakomodasi aspirasi publik “17+8”, pemerintah berupaya menegaskan bahwa kepentingan masyarakat pekerja dan pelaku usaha tidak diabaikan. Jika dijalankan secara konsisten dan inklusif, reformasi ini diharapkan mampu memperkuat fondasi perekonomian Indonesia sekaligus meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Transformasi pajak yang berkeadilan bukan hanya sebuah kebijakan fiskal, melainkan bagian dari visi besar untuk membangun Indonesia yang lebih sejahtera dan berdaya saing.

 

)* Penulis merupakan Pengamat Politik