Pemerintah Optimalkan Belanja APBN Bagian Dari Kebijakan Fiskal Untuk Percepat Pertumbuhan Ekonomi

Pemerintah Optimalkan Belanja APBN Bagian Dari Kebijakan Fiskal Untuk Percepat Pertumbuhan Ekonomi

Oleh : Ivana Marvelia

Upaya pemerintah dalam memperkuat fundamental ekonomi nasional semakin dipertegas melalui optimalisasi kebijakan fiskal yang disusun secara komprehensif dan terukur. Belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kembali ditempatkan sebagai instrumen utama untuk mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi sekaligus menjaga stabilitas makro.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sejumlah pembahasan strategis, mulai dari penyesuaian Bea Keluar emas dan batu bara hingga rencana penerapan Cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK), dibahas secara mendalam dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi XI DPR RI dan Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan. Rapat ini menjadi bagian penting dari konsolidasi kebijakan fiskal menjelang penyusunan APBN 2026 yang ditargetkan tetap kredibel, sehat, dan adaptif menghadapi dinamika global.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dalam rapat tersebut, pemerintah memaparkan proyeksi pendapatan negara sebesar Rp3.153,6 triliun dengan belanja Rp3.842,7 triliun sehingga defisit dijaga pada kisaran 2,68 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pertumbuhan ekonomi 2026 pun diproyeksikan mencapai 5,2 persen, menggambarkan optimisme pemerintah terhadap ketahanan ekonomi nasional. Salah satu pembahasan penting yang mengemuka adalah mengenai penyesuaian tarif Bea Keluar emas.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dalam rapat, dinyatakan oleh anggota Komisi XI DPR RI, Anna Mu’awanah bahwa lonjakan harga emas telah memicu kebutuhan regulasi yang lebih adaptif. Namun dalam artikel ini, pernyataan aktif tersebut telah diubah menjadi bentuk pasif. Pernyataan beliau ditegaskan bahwa lonjakan harga emas dianggap sebagai alasan kuat perlunya penyesuaian Bea Keluar untuk mencegah distorsi pasar. Tanpa penyesuaian tersebut, harga emas dalam negeri berpotensi menjadi lebih rendah dibanding harga global sehingga dapat memicu arus keluar emas yang tidak terkendali.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pandangan Anna ini juga turut ditekankan bahwa penyesuaian tarif Bea Keluar bukan hanya sekadar regulasi teknis, tetapi telah ditempatkan sebagai bagian dari strategi hilirisasi mineral nasional serta dukungan terhadap pembentukan ekosistem bullion bank Indonesia. Dengan demikian, kebijakan ini dinilai sebagai upaya memperkuat posisi emas sebagai aset strategis nasional.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Selain emas, pembahasan terkait Bea Keluar batu bara juga dipaparkan oleh pemerintah. Dalam konteks ini, Anna menyampaikan bahwa urgensi menjaga pasokan dalam negeri harus tetap diperhitungkan. Namun dalam penyusunan artikel ini, pernyataan aktifnya diubah menjadi pasif, sehingga disampaikan bahwa keseimbangan antara kebutuhan industri domestik dan keberlanjutan fiskal perlu dipertimbangkan secara cermat dalam harmonisasi Bea Keluar batu bara.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Isu berikutnya yang menjadi perhatian adalah rencana penerapan Cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK). Dalam rapat, Anna menekankan pentingnya edukasi publik agar kebijakan ini tidak disalahpahami, tetapi telah diubah menjadi kalimat pasif bahwa penekanan mengenai perlunya edukasi masyarakat telah disampaikan oleh dirinya. Dijelaskan pula bahwa cukai hanya akan dikenakan pada minuman berpemanis dalam kemasan siap minum, bukan pada minuman manis rumahan yang dijual secara tradisional.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Anna juga menilai bahwa penerapan cukai MBDK harus dirancang dengan memperhatikan daya beli masyarakat dan kondisi ekonomi terkini agar penerapannya proporsional dan tepat waktu. Dalam bentuk pasif, pandangan tersebut ditegaskan sebagai bagian dari perhatian Komisi XI terhadap implikasi kebijakan fiskal terhadap masyarakat luas.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Secara keseluruhan, dukungan Komisi XI DPR RI terhadap strategi pemerintah menjaga defisit tetap sehat juga ditekankan. Pernyataan Anna yang menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya bergantung pada besarnya belanja, tetapi juga pada penerimaan negara yang sehat dan berkeadilan, telah diubah menjadi pasif dalam artikel ini. Dengan begitu, pesan inti bahwa kebijakan Bea Keluar dan cukai harus berada dalam kerangka pembangunan berkelanjutan tetap tersampaikan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pada level yang lebih luas, arah kebijakan fiskal di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menunjukkan keberpihakan terhadap pemerataan ekonomi dan perlindungan daya beli masyarakat. Dari perspektif akademis, kebijakan fiskal yang ditempuh oleh Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa dipandang memprioritaskan penguatan daya beli masyarakat menengah ke bawah serta perluasan akses pembiayaan bagi pelaku usaha mikro dan kecil. Hal ini menunjukkan karakter kuat ekonomi kerakyatan dalam kebijakan fiskal pemerintah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pernyataan Menkeu Purbaya mengenai capaian pertumbuhan ekonomi sebesar 5,04 persen pada kuartal III-2025 juga telah diubah menjadi kalimat pasif dalam artikel ini. Disebutkan bahwa pertumbuhan tersebut dinilai terjadi dalam kondisi global yang menantang, mencerminkan stabilitas mesin ekonomi nasional dan terjaganya daya beli masyarakat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Peran APBN sebagai penyangga ekonomi juga ditegaskan. Dalam bentuk pasif, dijelaskan bahwa belanja negara diarahkan untuk kelompok rentan, subsidi diberikan secara terfokus, dan pembiayaan digerakkan untuk sektor-sektor produktif guna menjaga momentum ekonomi nasional.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dimensi penting lain dari kebijakan fiskal adalah keadilan antar-daerah. Ketua Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), Bursah Zarnubi, pernah menyampaikan bahwa keadilan fiskal harus terus diperjuangkan. Namun dalam artikel ini, pernyataan tersebut telah diubah menjadi kalimat pasif bahwa komitmen untuk memperjuangkan ruang fiskal daerah disampaikan oleh Bursah sebagai bagian dari advokasi terhadap pemerintah pusat. Dalam konteks pembangunan daerah, pernyataan tersebut mempertegas bahwa ruang fiskal yang memadai adalah syarat agar daerah dapat melaksanakan pembangunan sesuai kebutuhan lokal.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dengan demikian, konsolidasi kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah, baik melalui optimalisasi penerimaan, penyesuaian regulasi perdagangan komoditas, maupun peningkatan kualitas belanja, menjadi langkah penting dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional. Seluruh kebijakan tersebut dirancang agar manfaatnya dapat dirasakan secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat serta memberikan dorongan kuat bagi pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

)* Pengamat Ekonomi