spot_img
BerandaEkonomiPemerintah Genjot Taksonomi Hijau Untuk Membuka Kran Investasi

Pemerintah Genjot Taksonomi Hijau Untuk Membuka Kran Investasi

Pemerintah Genjot Taksonomi Hijau Untuk Membuka Kran Investasi


Oleh : Agus Baskara

Indonesia telah mendapatkan amanat Presidensi G20 di tengah kondisi global yang sedang sulit. Transisi ekonomi rupanya menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia, meski demikian ini tidak mengendurkan tekad pemerintah untuk menggenjot Taksonomi Hijau untuk membuka kran investasi.


Letak Indonesia secara geografis diapit oleh dua samudera dan dua benua membuat Indonesia kemudian menjadi suatu wilayah tropis yang proporsional dengan sumber daya alam yang melimpah.

Seperti sumber energi baru terbarukan (EBT) mulai dari tenaga surya, angin dan air, panas bumi, hingga panas laut.


Kondisi tersebut memaksa Indonesia kemudiaan memiliki geoekonomi untuk selalu mempertahankan eksistensinya, karena tentu hal tersebut menjadi target banyak nengarah di seluruh dunia yang mengimplementasikan kepentingan tertentu pada Indonesia.


Dengan variasi dan jumlah EBT yang besar, Indonesia sejatinya memiliki peluang investasi hijau yang sangat besar. Salah satu objek sasaran kepentingan antar negara yaitu permasalahan energi dan pangan.

Permasalahan tersebut merupakan basic needs human being yang mutlak menjadi prioritas bagi Kepentingan Global.


Pemanfaatan EBT atau energi hijau untuk menggantikan energi fosil di Indonesia saat ini menjadi transisi fokus dan agenda prioritas pemerintah, pembahasan investasi hijau pun masuk dalam rangkaian kegiatan Presidensi G-20 di Bali.
Investasi hijau tentu saja digadang-gadang mampu mendukung pemulihan ekonomi global, beberapa yang menjadi fokus bahasan Investasi hijau seperti Respon Investasi dan Industri terhadap Pandemi dan Arsitektur Kesehatan Global, mendorong Investasi Berkelanjutan dalam rangka pemulihan Ekonomi Global.
Indonesia memiliki potensi sumber daya alam berlimpah yang tidak akan habis selama tersedia di tanah, air dan udara untuk kepentingan energi hijau. Apalagi Indonesia mempunyai target penurunan gas emisi karbon nol persen di tahun 2060, karena itu transisi energi hijau harus dipacu demi pemanfaatan sekaligus pengurangan penggunaan bahan bakar fosil, seperti batu bara maupun solar. Di sisi lain tentunya memberikan kontribusi terhadap pemulihan ekonomi dan pemasukan negara.
Melalui pandangan kebutuhan hidup, Indonesia secara geoekonomi memiliki dua unsur yaitu food and energy. Jumlah penduduk yang ada di sekitar 240-an juta hingga kini masih memiliki ketergantungan melalui impor. Hal ini bisa dibuktikan dengan melihat bagaimana neraca perdagangan Indonesia yang mencatatkan defisit tertinggi sepanjang sejarah, yakni USD 8,57 Miliar.
Penyebab utamanya lagi-lagi defisit migas, karena negara masih bergantung pada impor, dari sini tentu saja dapat dilihat, jika secara geoekonomi dengan adanya impor pangan dan energi jelas hal tersebut dapat menggerus devisa negara dan mengakibatkan terjadinya defisit APBN.
Dengan investasi yang berfokus pada aspek lingkungan, sosial dan tata kelola baik yang tujuannya menjaga kelangsungan perekonomian dan kehidupan di muka bumi. Indonesia sudah mencanangkan program pertumbuhan ekonomi hijau yang berupaya menciptakan situasi kondusif untuk investasi hijau dan peningkatan modal, prinsip ESG dalam investasi diharapkan dapat menyasar dua hal yakni, financial return and positively impacting. Sehingga, tidak hanya perihal meraih keuntungan, tetapi juga menghasilkan dampak sosial dan lingkungan secara berkelanjutan.
Perlu diketahui bahwa Bank Indonesia menjadi salah satu tulang punggung pada forum ekonomi global Group of Twenty. Pada Presidensi G20, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menyampaikan komitmen Bank Indonesia untuk bekerja sama mendukung pemulihan ekonomi global melalui kebijakan ekonomi hijau bersama seluruh negara yang tergabung dalam Forum G20.
Pengelolaan aliran dana dari level investor dan perbankan hingga ke tataran mikro pelaku usaha tentunya harus dipertanggungjawabkan secara transparan dan akuntabel. Karena proses transisi ekonomi ini merupakan hal yang baru, sebuah acuan bersama juga diperlukan dalam pendefinisian terminologi teknis dan penyusunan kriteria-kriteria. Untuk keperluan itulah Taksonomi Hijau Indonesia disusun agar dapat mempertemukan berbagai sudut pandang atau kepentingan pelaku ekonomi dan dengan demikian menghindari ambiguitas.
Penyelenggaraan Presidensi G20 tentu saja diharapkan menjadi momentum yang tepat untuk mengakselerasi serta memperkuat ekosistem keuangan berkelanjutan. Kehadiran delegasi negara-negara anggota yang menguasai 85% ekonomi dunia mempermudah komunikasi dan koordinasi untuk membahas berbagai kendala dan mendiskusikan tindakan bersama.
Pengendalian risiko dapat dilakukan lebih mudah karena Taksonomi Hijau juga berperan dalam monitoring serta pelaporan kegiatan usaha secara berkala. Taksonomi hijau sendiri juga berperan dalam mengakomodasi perubahan-perubahan sepanjang perjalanannya menuju sistem yang matang dan baku.
Jika ada kepastian usaha dengan sendirinya investasi hijau akan lebih mudah diperoleh, apalagi investor global saat ini mulai tertarik untuk menanamkan modalnya di bidang ini. Pemerintah tentu saja harus terus menggenjot Taksonomi Hijau, di mana Taksonomi Hijau yang matang diharapkan akan mampu membuka kran investasi serta dapat mengantisipasi perubahan iklim.

)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute