Pastikan Kualitas Demokrasi Membaik, Bawaslu dan Tokoh Agama Tangkal Politisasi SARA
Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Lolly Suhenty menyatakan bahwa pencegahan adanya politisasi SARA sama dengan memastikan kualitas demokrasi semakin baik.
Menurutnya, bagaimana upaya pencegahan serta penindakan ketika terjadi pelanggaran merupakan hal yang sangat penting.
“Ini jadi momentum yang tepat bagi Bawaslu untuk memastikan kita kuat dalam pencegahan. Sebaik-baiknya upaya memastikan kualitas demokrasi kita makin baik, tentu dilihat dari seberapa kita melakukan pencegahan dan menindak jika ada pelanggaran,” terangnya.
Pada kesempatan lain, Anggota Bawaslu, Totok Hariyono mengemukakan bahwa penanggulangan politisasi SARA dan politik identitas dilakukan oleh pihaknya dengan cara pencegahan.
Dengan upaya pencegahan yang dilakukan, yakni melakukan teguran kepada para peserta pemilu agar tidak melanggar, merupakan bagian dari konsep pemilu gotong royong.
“Kami lakukan pencegahan terlebih dahulu baru penindakan, itu bagian dari konsep pemilu gotong-royong,” terangnya.
Menurutnya, adanya praktik politisasi SARA dan politik identitas merupakan ancaman yang nyata dan wajib dihindari.
Hal tersebut lantaran politisasi SARA bagi Totok pasyinya akan mengundang perpecahan bagi masyarakat Indonesia.
“Dua-duanya tentu akan melahirkan perbedaan yang tajam. Nah ini yang kita harapkan politik identitas politik sara itu tidak digunakan dalam proses pemilu ini,” ujar Totok di Hotel Grand Sahid Jakarta, Sabtu (25/3/2023).
Anggota Bawaslu tersebut kemudian berharap bahwa nantinya, persaingan Pemilu 2024 tidak diwarnai dengan negarawan yang justru menjadkan perbedaan dan identitas sebagai alat politik mereka.
Totok menambahkan, bahwa identitas sejatinya merupakan hal yang menjadi pemberian Tuhan, sehingga memang sama sekali tidak patut dijadikan senjata untuk menunggangi kepentingan dalam berpolitik.
“Karena identitas itu given, pemberian langsung dari tuhan yang kita tidak bisa menolak. Saya mau suku dari jawa, bali, irian tidak bisa menolak. Saya beragama islam Hindu, Kristen, juga dari lahir,” paparnya.
Sementara itu, Plh Sekjen Bawaslu, La Bayoni menerangkan adanya diskusi dengan para tokoh agama mampu memunculkan gagasan dalam upaya mewujudkan pemilu damai dan berkualitas.
“Maka berkaca dari hal tersebut, kami (Bawaslu) berinisiatif melakukan fgd,” tuturnya.
Sekadar informasi, diskusi kali ini dihadiri para tokoh dari Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Presidium Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Dewan Rohaniwan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI, Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).