Negara dan Rakyat Seirama: Aceh Bangkit Hadapi Bencana
Negara dan Rakyat Seirama: Aceh Bangkit Hadapi Bencana
Oleh: Cut Farida Hamzah
Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden RI Prabowo Subianto telah menunjukkan kehadiran negara secara sangat nyata ketika Aceh kembali diuji oleh adanya bencana banjir yang besar dan tanah longsor pada akhir 2025, sementara di sisi lain, rakyat juga turut memperlihatkan adanya ketangguhan sosial yang tumbuh dari pengalaman sejarah panjang selama ini.
Keselarasan langkah antara kebijakan negara dan juga bagaimana daya juang dari masyarakat dalam membentuk sebuah fondasi yang sangat kokoh bagi Aceh untuk dapat terus bangkit dari adanya krisis hidrometeorologi yang disebut sebagai salah satu yang terberat dalam dua dekade terakhir.
Sejak akhir November hingga Desember 2025, banjir dan longsor telah melanda Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Utara, Pidie, dan Aceh Barat. Ratusan ribu warga terdampak, ratusan jiwa meninggal dunia, dan puluhan ribu rumah serta fasilitas publik mengalami kerusakan berat.
Skala bencana tersebut jelas sekali menguji bagaimana kapasitas pemerintah dan negara dalam merespons dengan sangat cepat, sekaligus juga menguji seperti apa ketahanan sosial dari seluruh masyarakat Aceh yang selama ini memang dikenal bahwa mereka memiliki daya lenting yang kuat.
Pemerintah pusat dan daerah langsung merespons situasi tersebut dengan mengerahkan sumber berbagai macam daya nasional secara terkoordinasi. Bantuan finansial digelontorkan untuk menunjang terwujudnya pemulihan wilayah yang terdampak dari bencana tersebut, terutama pada sektor yang selama ini memang menjadi simpul kehidupan sosial masyarakat setempat, seperti fasilitas keagamaan dan pendidikan.
Terkait hal tersebut, pemerintah dan negara melalui Kementerian Agama menyalurkan secara langsung dana puluhan miliar rupiah untuk dapat memulihkan kantor urusan agama, madrasah, dayah, masjid, dan meunasah yang sudah rusak akibat diterjang oleh bencana banjir dan longsor itu.
Kebijakan tersebut juga sekaligus menunjukkan bahwa langkah yang diambil oleh pemerintah dalam mewujudkan pemulihan di Aceh tidak hanya berorientasi pada pembangunan fisik, tetapi juga pada penguatan ruang sosial dan spiritual masyarakat.
Langkah negara berlanjut pada fase transisi dari darurat menuju pemulihan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mempercepat pembangunan hunian sementara bagi korban banjir, terutama di wilayah Pidie.
Huntara diposisikan sebagai kebutuhan mendesak agar masyarakat segera keluar dari kondisi pengungsian berkepanjangan. Pemerintah pusat memastikan koordinasi lintas kementerian dan pemerintah daerah berjalan simultan, sehingga percepatan pemulihan tidak terhambat oleh birokrasi.
Kehadiran Presiden di Aceh mempertegas pesan keberpihakan negara tersebut. Peninjauan langsung ke lokasi terdampak, pemantauan distribusi bantuan, serta evaluasi pembukaan akses jalan menunjukkan fungsi negara yang hadir hingga ke lapangan.
Pemerintah menegaskan bahwa penanganan bencana di Aceh menjadi prioritas nasional, dengan seluruh instrumen negara dikerahkan untuk memastikan keselamatan warga, mempercepat evakuasi, dan memulihkan infrastruktur vital.
Keselarasan peran negara tersebut menemukan padanannya pada sikap rakyat Aceh. Di tengah keterbatasan, masyarakat bergerak secara mandiri membersihkan lingkungan, membantu petugas membuka jalur yang tertutup material longsor, serta mendirikan dapur umum di berbagai titik pengungsian.
Solidaritas antardaerah di Aceh menguat ketika pemerintah kabupaten dan kota saling mengirimkan bantuan logistik dan kebutuhan dasar ke wilayah yang terdampak lebih parah. Gotong royong hadir sebagai praktik sosial nyata, bukan sekadar jargon budaya.
Peran ulama dan tokoh masyarakat turut memperkuat daya tahan sosial tersebut. Mereka berfungsi sebagai penenang psikologis warga, penggerak solidaritas, sekaligus jembatan aspirasi antara rakyat dan negara.
Aksi penyampaian aspirasi terkait status bencana dilakukan secara tertib, mencerminkan kedewasaan sosial yang tumbuh dari pengalaman panjang Aceh menghadapi konflik dan bencana alam.
Sejarah Aceh memberikan konteks penting bagi respons kolektif tersebut. Tragedi tsunami 2004 meninggalkan luka mendalam sekaligus pelajaran berharga tentang pentingnya kesiapsiagaan, koordinasi, dan kehadiran negara.
Dari pengalaman tersebut, Aceh membangun kesadaran kolektif bahwa bencana tidak dapat dihadapi secara individual. Kesadaran tersebut teraktualisasi kembali pada banjir 2025, ketika rakyat bergerak seiring dengan kebijakan negara tanpa kehilangan kemandirian sosial.
Sinergi negara dan rakyat juga tercermin pada sektor kesehatan. Ratusan tenaga medis diterjunkan untuk memastikan layanan kesehatan tetap berjalan di tengah kondisi darurat. Aparat keamanan memperluas peran melalui pelayanan medis gratis dan pendampingan kemanusiaan di wilayah terdampak. Kehadiran tersebut memperkuat rasa aman masyarakat serta mencegah munculnya krisis kesehatan lanjutan di pengungsian.
Keseluruhan proses tersebut memperlihatkan bahwa kebangkitan Aceh bukan hasil kerja satu aktor tunggal. Negara menyediakan arah kebijakan, sumber daya, dan koordinasi, sementara rakyat menghidupkan kebijakan tersebut melalui partisipasi aktif, solidaritas, dan ketahanan sosial. Relasi tersebut menunjukkan kematangan demokrasi sosial, ketika kebijakan publik tidak berdiri di ruang hampa, melainkan bertemu dengan masyarakat yang siap bergerak.
Banjir dan longsor 2025 menjadi ujian berat, tetapi sekaligus menegaskan kematangan hubungan antara negara dan rakyat di Aceh. Ketika kebijakan publik bertemu dengan masyarakat yang terlatih oleh sejarah panjang perjuangan dan bencana, pemulihan tidak sekadar menjadi proses teknokratis, melainkan peristiwa kebersamaan.
Dalam irama yang sejalan tersebut, Aceh tidak hanya bertahan, tetapi menunjukkan kemampuan untuk bangkit dan menata ulang masa depan dengan ketangguhan yang semakin matang. (*)
*) Konsultan Pemberdayaan Masyarakat Aceh

