Menutup Celah Diskriminasi: KUHAP Baru dan Hak Setara bagi Difabel di Sistem Peradilan
Menutup Celah Diskriminasi: KUHAP Baru dan Hak Setara bagi Difabel di Sistem Peradilan
Oleh: Juana Syahril)*
Penghapusan diskriminasi dalam sistem peradilan merupakan fondasi penting untuk memastikan keadilan yang merata bagi seluruh warga negara. Dalam konteks penyandang disabilitas, upaya menutup celah diskriminasi membutuhkan langkah konkret melalui reformasi hukum yang berperspektif inklusif. Disahkannya KUHAP baru oleh DPR menjadi momen penting bagi Indonesia untuk mempertegas komitmen tersebut. Aturan baru ini tidak hanya memperbarui mekanisme hukum acara pidana, tetapi juga memberikan pengakuan lebih kuat terhadap hak difabel sebagai subjek hukum yang setara, terutama dalam proses pembuktian dan pemeriksaan saksi.
Komitmen terhadap reformasi inklusif ini ditegaskan oleh Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, mengatakan KUHAP baru merupakan salah satu undang-undang yang paling terbuka proses perumusannya. Melalui partisipasi publik yang luas, termasuk masukan dari fakultas hukum di seluruh Indonesia, penyusunan KUHAP berhasil merangkul berbagai perspektif masyarakat. Keikutsertaan publik menunjukkan bahwa pembangunan hukum bukan hanya domain pemerintah dan legislatif, tetapi juga ruang aspiratif yang menampung kepentingan kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas.
Lebih jauh, Supratman menekankan bahwa KUHAP baru memuat prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia, penerapan keadilan restoratif, dan penguatan kepastian hukum. Ketiga prinsip tersebut menjadi landasan reformasi untuk menghilangkan potensi kesewenang-wenangan yang sebelumnya mungkin terjadi. Dalam konteks penyandang disabilitas, pembaruan ini membawa angin segar yang memastikan proses peradilan tidak lagi menempatkan mereka sebagai pihak yang terpinggirkan, melainkan sebagai individu yang memiliki hak setara dalam memberikan keterangan dan memperoleh perlindungan hukum.
Di tingkat legislatif, Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, mengatakan penyandang disabilitas memiliki kekhususan dalam memberikan keterangan hukum. Karena itu, KUHAP baru perlu mengatur secara eksplisit bahwa saksi difabel tidak harus memenuhi standar pembuktian klasik seperti melihat, mendengar, atau mengalami langsung suatu peristiwa. Beberapa penyandang disabilitas justru memiliki cara unik dalam mengenali atau memahami kondisi tertentu. Pengaturan afirmatif ini memastikan bahwa kapasitas saksi difabel diakui secara penuh dan tidak lagi dipinggirkan sebagaimana terjadi dalam aturan lama.
Kehidupan sehari-hari penyandang disabilitas sering kali tidak mudah. Diskriminasi sosial, pandangan sebelah mata, serta anggapan bahwa mereka tidak memiliki kemampuan setara masih menjadi tantangan nyata. Namun, sejarah membuktikan bahwa kemampuan seseorang tidak ditentukan oleh kondisi fisik. Dengan segala kekurangan, banyak difabel justru tampil sebagai individu berprestasi yang memberi kontribusi besar bagi bangsa. Perspektif ini menjadi penting agar masyarakat lebih siap menerima peran difabel sebagai bagian dari proses peradilan.
Secara konstitusional, jaminan kesetaraan bagi difabel ditegaskan dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 1945. Setiap warga negara memiliki kedudukan setara dalam hukum dan pemerintahan tanpa pengecualian. Prinsip tersebut menegaskan bahwa penyandang disabilitas memiliki legal capacity yang sama dengan pihak lain dalam proses hukum. Mereka berhak menuntut dan dituntut secara setara serta memperoleh perlindungan hukum yang sama besarnya. Dengan demikian, sistem peradilan wajib menyediakan ruang yang inklusif, aksesibel, dan bebas diskriminasi.
Perubahan paling penting dalam KUHAP baru terkait difabel adalah pengakuan kesaksian mereka sebagai alat bukti yang sah dan setara. Pada KUHAP lama, kesaksian penyandang disabilitas hanya dianggap sebagai petunjuk karena mereka tidak diambil sumpah secara formal. Dalam KUHAP baru, hal ini berubah secara signifikan. Kesaksian difabel kini memiliki kekuatan hukum yang sama dengan saksi lainnya selama keterangannya relevan dengan perkara. Pengakuan ini menutup celah diskriminasi yang selama bertahun-tahun membatasi peran difabel dalam proses pembuktian.
Perubahan ini juga didukung oleh penegasan Mahkamah Konstitusi bahwa kesaksian tidak harus selalu berasal dari apa yang dilihat, didengar, atau dialami langsung. Selama relevan, keterangan tersebut memiliki kekuatan pembuktian. Aturan afirmatif seperti dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi landasan penting bahwa saksi difabel berhak memperoleh perlakuan yang setara namun tetap sesuai dengan kebutuhan khusus mereka. Ia juga mendorong penyediaan fasilitas ramah perempuan, anak, dan kelompok rentan lainnya, termasuk pendamping psikologis, penerjemah, dan layanan medis yang memadai.
Meski demikian, harmonisasi regulasi masih menjadi pekerjaan rumah. Belum seragamnya pengaturan terkait perlindungan difabel dalam berbagai undang-undang membuat koordinasi lintas lembaga menjadi penting. Sinergi pemerintah, DPR, lembaga peradilan, hingga masyarakat sipil dibutuhkan untuk memastikan semua aturan memiliki keselarasan dalam menjamin hak difabel sejak tahap penyelidikan hingga persidangan. Dengan harmonisasi yang baik, Indonesia menunjukkan keseriusannya dalam membangun hukum yang adil, manusiawi, dan inklusif.
Pada akhirnya, peran hakim menjadi krusial. Hakim tidak hanya bertugas mendengarkan kesaksian, tetapi juga memastikan setiap saksi difabel dapat memberikan keterangan tanpa hambatan. Hakim harus menjamin bahwa tidak ada diskriminasi, baik secara teknis maupun substansial, dalam proses pengambilan keterangan. Dengan KUHAP baru, Indonesia mengambil langkah besar dalam menutup celah diskriminasi dan memastikan bahwa keadilan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk penyandang disabilitas. Meskipun memiliki keterbatasan, difabel tetap berhak atas layanan hukum yang setara dan komprehensif, sebagaimana warga negara lainnya.
)* Penulis adalah Mahasiswa Bogor tinggal di Jakarta

