Mendukung Pembatasan Pembelian Pertalite
Oleh : Aldia Putra
Pemerintah telah membatasi pembelian BBM bersubsidi bagi masyarakat melalui aplikasi MyPertamina . Rencana penerapan kebijakan tersebut pantas mendapat dukungan luas agar pembelian BBM bersubsidi benar-benar tepat sasaran dan mencegah jebolnya anggaran negara.
Tepat pada, Jumat (1/7) pembatasan pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi ditetapkan oleh Pemerintah.
Sebagaimana diketahui bahwa akan terdapat pembatasan kuota maupun segmentasi dari para pengguna yang biasanya melakukan pembelian Pertalite dan juga Solar bersubsidi supaya lebih tepat sasaran dan tidak terlalu luas penggunanya.
Selain itu, tentu saja terdapat alasan logis di balik kebijakan tersebut, yang mana akan berdampak secara positif pada sektor lainnya demi roda perekonomian Indonesia supaya bisa terus berputar di tengah ancaman krisis inflasi serta resesi dan juga upaya dalam perbaikan pasca pandemi Covid-19.
Salah satu pengamat menyatakan bahwa industri yang akan menerima dampak baik dari diberlakukannya kebijakan itu adalah kendaraan listrik.
Selama ini masih banyak sekali masyarakat yang mengonsumsi Pertalite sebagai bahan bakar utama untuk kendaraan mereka, utamanya hal tersebut terjadi setelah kenaikan pada Pertamax hingga mencapai Rp 12.500 per liternya sehingga membuat masyarakat lebih memilih untuk terus menggunakan Pertalite.
Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Saleh Abdurrahman menyatakan bahwa konsumsi masyarakat dalam menggunakan Pertalite sebagai bahan bakar bahkan sudah melebihi 50 persen sehingga pengendaliannya sudah sangat sulit untuk diatur. Maka dari itu terjadi kebijakan pembatasan kuota ini.
Lebih lanjut, akan terjadi revisi pada Perpres No 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak yang bertujuan untuk membuat masyarakat mampu supaya tidak terus menerus memanfaatkan subsidi Pertalite dari Pemerintah. Tak hanya itu, namun Saleh juga menyatakan bahwa supaya masyarakat yang memiliki kendaraan dengan cc besar lebih baik mengonsumsi bahan bakar dengan oktan tinggi karena akan lebih irit serta ramah lingkungan.
Bahkan Toto Pranoto selaku Associate Director BUMN Research Group LM (Lembaga Management) dari Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia juga turut mendorong supaya kebijakan seperti ini lebih ditingkatkan lagi menjadi komprehensif agar segmentasi kendaraan listrik menjadi semakin masif di pasaran karena belakangan memang sudah mulai banyak bermunculan kendaraan listrik masuk ke Indonesia, sehingga langkah ini bisa menjadi suatu peralihan ke kebiasaan konsumsi kendaraan masyarakat.
Tentunya menurut Toto, Indonesia juga harus segera beralih dari konsumsi bahan bakar fosil ke konsumsi energi terbarukan dan lebih bersih karena demi kepentingan masa depan dunia sehingga sesuai dengan cita-cita pembangunan yang berkelanjutan supaya kelak generasi penerus masih bisa dengan nyaman tinggal di Indonesia.
Selain itu, dukungan lain juga datang dari Mawit Setiawan selaku Direktur Eksekutif Energy Watch yang mengatakan kalau kebijakan pembatasan kuota BBM bersubsidi tentu akan meringankan beban keuangan negara lantaran Pemerintah tidak harus terlalu banyak menggelontorkan kompensasi serta subsidi, serta adanya subsidi diharapkan akan lebih tepat sasaran kepada mereka yang membutuhkan saja.
Kebijakan pembatasan pembelian BBM bersubsidi juga diapresiasi oleh Anggota Komisi C DPRD Kota palangka Raya, Jhony Arianto Satria Putra yang menyatakan bahwa hal tersebut sudah sangat bijak untuk dilakukan. Pasalnya, terdapat beberapa praktik dari oknum yang dengan sengaja melakukan pembelian Pertalite dalam jumlah besar sehingga membuat pasokan BBM untuk masyarakat yang membutuhkan menjadi langka.
Maka dari itu untuk bisa mengantisipasi terjadi penimbunan BBM bersubsidi yang dilakukan oleh beberapa oknum, kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi sangat tepat. Dengan adanya pembatasan tersebut, maka diharapkan subsidi energi dapat lebih tepat sasaran yakni kepada golongan yang kurang mampu.
)* Penulis adalah kontributor Nusa Bangsa institute