KUHAP Baru Mengakui Penyandang Disabilitas sebagai Subjek Hukum Setara

KUHAP Baru Mengakui Penyandang Disabilitas sebagai Subjek Hukum Setara

*Jakarta,* Pemerintah mencatatkan babak baru yang progresif dalam sejarah reformasi hukum pidana nasional. Dalam pembaruan regulasi hukum acara pidana (KUHAP), negara menegaskan pengakuan penuh terhadap penyandang disabilitas sebagai subjek hukum yang setara. Langkah ini menjadi tonggak penting dalam menghapus stigma ketidakcakapan hukum yang selama ini sering melekat pada kelompok disabilitas dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

 

Pemerintah menempatkan isu inklusivitas ini sebagai prioritas dalam agenda reformasi hukum, memastikan bahwa sistem peradilan tidak lagi menggunakan pendekatan _charity_ (belas kasihan), melainkan pendekatan berbasis hak asasi manusia (HAM). Hal ini sejalan dengan ratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas (UN CRPD) yang telah dilakukan Indonesia.

 

Asisten Deputi Koordinasi Tata Kelola Administrasi Hukum Kementerian Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Kemenko Kumham Imipas), Sry Yuliani, menyatakan pengakuan dalam KUHAP baru ini adalah wujud nyata kehadiran negara untuk menjamin _access to justice_ bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali.

 

“Ini adalah perubahan paradigma yang fundamental. KUHAP baru tidak hanya bicara soal perlindungan, tetapi soal pemberdayaan dan kesetaraan,” katanya di Jakarta.

 

Pihaknya menekankan bahwa penyandang disabilitas memiliki kapasitas hukum _(legal capacity)_ yang sama untuk bertindak di dalam proses peradilan, baik sebagai saksi, korban, maupun tersangka.

 

“Penyandang disabilitas diakui kompetensinya untuk memberikan keterangan di depan hukum, dan keterangannya memiliki nilai pembuktian yang setara dengan warga negara lainnya,” ujarnya.

 

Untuk menjamin kesetaraan tersebut, pemerintah mendorong kewajiban penyediaan akomodasi yang layak _(reasonable accommodation)_ dalam setiap tahapan proses hukum. Hal ini mencakup penyediaan juru bahasa isyarat, pendamping psikologis, serta aksesibilitas fisik di kantor kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan. Aparat penegak hukum juga dituntut untuk memiliki perspektif disabilitas agar tidak terjadi diskriminasi atau reviktimisasi selama proses pemeriksaan.

 

Senada, Anggota Komisi III DPR RI, Bimantoro Wiyono menegaskan pentingnya menjamin perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas dan kelompok rentan dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Ia menilai, aturan tersebut harus memastikan seluruh warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum tanpa terkecuali.

 

“RKUHAP harus mendorong pemenuhan hak disabilitas dalam kesetaraan. Perlindungan hukum bagi kelompok disabilitas dan kelompok rentan dalam memberikan kesaksian dan menjalani proses hukum wajib diperkuat,” tuturnya.

 

Sementara itu, Wakil Menteri Hak Asasi Manusia (Wamen HAM), Mugiyanto, menambahkan bahwa pengakuan ini menuntut kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia di lembaga penegak hukum. Pemerintah berkomitmen untuk terus melakukan sosialisasi dan pelatihan bagi para aparat agar implementasi pasal-pasal yang ramah disabilitas ini dapat berjalan efektif di lapangan.

 

“Kita ingin memastikan bahwa ‘kesetaraan di mata hukum’ bukan sekadar jargon. Ketika seorang penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum, sistem kita harus siap memfasilitasi kebutuhan mereka agar mereka bisa membela hak-haknya secara maksimal dan bermartabat,” tegasnya.

 

Melalui penguatan substansi hukum acara pidana ini, Indonesia berupaya membuktikan kepada dunia internasional bahwa komitmen negara terhadap HAM terus berkembang mengikuti standar global. Pemerintah berharap, regulasi yang inklusif ini dapat menciptakan iklim hukum yang lebih adil, humanis, dan berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.