spot_img
BerandaUncategorizedKetidakpuasan Terhadap UU TNI Dapat Dilakukan Melalui Mekanisme yang...

Ketidakpuasan Terhadap UU TNI Dapat Dilakukan Melalui Mekanisme yang Berlaku

Ketidakpuasan Terhadap UU TNI Dapat Dilakukan Melalui Mekanisme yang Berlaku

Oleh: Darmaji Sadat

Pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Sejumlah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) mengajukan gugatan uji formil ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan alasan bahwa proses revisi UU TNI diduga memiliki kecacatan prosedural. Langkah ini merupakan bagian dari hak konstitusional setiap warga negara untuk menguji undang-undang yang telah disahkan, menunjukkan bahwa mekanisme hukum di Indonesia berjalan dengan baik dan tetap memberikan ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan keberatan melalui jalur yang sah.

 

TNI, sebagai institusi yang menjadi subjek dari undang-undang ini, menyatakan sikap menghormati setiap proses hukum yang berlangsung. Kapuspen TNI, Brigjen Kristomei Sianturi, menegaskan TNI tunduk pada mekanisme konstitusional dan menyerahkan sepenuhnya proses uji materi ke MK. Hal ini menunjukkan bahwa TNI tetap berkomitmen pada supremasi hukum dan demokrasi, serta memastikan bahwa setiap kebijakan yang berkaitan dengan institusi ini tetap berada dalam koridor konstitusional.

 

Sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam proses legislasi, DPR juga menyatakan revisi UU TNI telah melalui tahapan yang sesuai dengan prosedur yang berlaku. Wakil Ketua DPR RI, Saan Mustopa, menyatakan proses pembentukan undang-undang ini tidak dilakukan secara tergesa-gesa dan telah melalui diskusi panjang dengan berbagai pihak, termasuk akademisi, pakar hukum, serta organisasi masyarakat sipil. DPR juga tidak menutup ruang bagi masyarakat yang merasa keberatan untuk mengajukan judicial review ke MK, sebagai bagian dari dinamika demokrasi yang sehat.

 

Revisi UU TNI mencakup beberapa perubahan signifikan yang menyesuaikan kebutuhan pertahanan negara. Salah satu poin yang menjadi perhatian adalah perluasan peran prajurit aktif dalam jabatan sipil di kementerian dan lembaga negara. Sebelumnya, hanya 10 jabatan yang bisa ditempati oleh personel aktif TNI, namun dalam revisi terbaru, jumlah tersebut bertambah menjadi 16. Beberapa pihak mengkhawatirkan bahwa perubahan ini berpotensi mengarah pada dwifungsi TNI seperti yang terjadi pada masa lalu, di mana militer memiliki peran yang lebih luas dalam pemerintahan.

 

Pemerintah menegaskan bahwa revisi ini tidak bertujuan untuk mengembalikan praktik dwifungsi TNI, melainkan untuk memperkuat efektivitas pertahanan negara. Dalam konteks global yang semakin kompleks, koordinasi antara sipil dan militer dalam bidang tertentu dianggap perlu untuk memastikan kesiapan negara dalam menghadapi berbagai ancaman. Pemerintah juga memastikan bahwa keterlibatan prajurit aktif dalam jabatan sipil tetap dalam kerangka supremasi sipil dan tidak akan mengganggu prinsip demokrasi.

 

Selain itu, revisi UU TNI juga mengatur perubahan mengenai batas usia pensiun prajurit. Dalam aturan baru, batas usia pensiun bagi bintara dan tamtama diperpanjang hingga 58 tahun, sedangkan untuk perwira menjadi 60 tahun. Sementara itu, bagi prajurit yang menduduki jabatan fungsional, usia pensiun diperpanjang hingga 65 tahun. Perubahan ini bertujuan untuk memaksimalkan pengalaman dan keahlian yang telah dimiliki oleh prajurit senior agar tetap dapat berkontribusi dalam sistem pertahanan negara.

 

Dalam sistem demokrasi, perdebatan mengenai suatu regulasi merupakan hal yang lumrah. Setiap perbedaan pandangan harus diselesaikan melalui mekanisme yang telah disediakan oleh hukum. Judicial review ke MK menjadi langkah yang tepat bagi pihak-pihak yang merasa bahwa suatu regulasi perlu dikoreksi. Jika nantinya MK memutuskan bahwa ada aspek dalam revisi UU TNI yang perlu diperbaiki, maka pemerintah dan DPR wajib mengikuti keputusan tersebut. Hal ini menegaskan bahwa sistem hukum di Indonesia tetap berjalan dengan prinsip demokrasi dan supremasi hukum.

 

Sebaliknya, jika gugatan yang diajukan ke MK tidak diterima, maka revisi UU TNI akan tetap berlaku dan diimplementasikan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Dalam kondisi ini, pemerintah tetap membuka ruang dialog dengan berbagai pihak untuk memastikan bahwa implementasi regulasi ini tidak menimbulkan dampak negatif bagi demokrasi dan tata kelola pemerintahan.

 

Sebagai negara dengan tantangan pertahanan yang semakin kompleks, Indonesia memerlukan kebijakan yang dapat menyesuaikan diri dengan dinamika global. Perubahan dalam struktur organisasi dan regulasi TNI tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan untuk memperkuat sistem pertahanan yang lebih adaptif. Dalam hal ini, penguatan sinergi antara sipil dan militer tidak dapat serta-merta dianggap sebagai langkah mundur bagi demokrasi, melainkan harus dipahami sebagai bagian dari strategi nasional untuk menjaga stabilitas dan kedaulatan negara.

 

 

 

 

Pemerintah dan DPR memastikan bahwa revisi UU TNI berada dalam koridor supremasi sipil dan tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi. Selain itu, TNI juga telah menegaskan komitmennya untuk tetap menjalankan perannya sesuai dengan konstitusi dan tidak akan terlibat dalam politik praktis. Komitmen ini menjadi jaminan bahwa revisi UU TNI tidak akan membawa Indonesia kembali ke era militerisme, tetapi justru memperkuat sistem pertahanan negara dengan tetap menghormati supremasi hukum.

 

Dalam konteks demokrasi, transparansi dan akuntabilitas tetap menjadi aspek penting dalam setiap kebijakan publik. Oleh karena itu, pemerintah tetap membuka ruang bagi masyarakat untuk memberikan masukan dan kritik yang konstruktif terhadap implementasi revisi UU TNI. Dengan adanya mekanisme hukum yang berjalan dengan baik, setiap perdebatan mengenai kebijakan negara dapat diselesaikan secara demokratis dan konstitusional.

 

)* Pakar Hukum Militer