spot_img
BerandaNasionalKeterbukaan Jadi Tolok Ukur Pemerintah dalam Pembahasan RUU Polri

Keterbukaan Jadi Tolok Ukur Pemerintah dalam Pembahasan RUU Polri

Keterbukaan Jadi Tolok Ukur Pemerintah dalam Pembahasan RUU Polri

Oleh: Andi Ramli

Pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) masih berada dalam tahap awal dan menunggu surat presiden (Surpres). Hingga saat ini, DPR RI belum menerima dokumen resmi dari pemerintah untuk memulai pembahasan.

 

Namun, keterbukaan dalam proses legislasi menjadi perhatian utama, karena hal tersebut dianggap penting guna memastikan bahwa revisi yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan hukum yang berkembang di masyarakat serta tetap menjunjung tinggi prinsip demokrasi.

 

Komisi III DPR RI menegaskan bahwa transparansi akan menjadi prinsip utama dalam membahas RUU Polri. Hinca Pandjaitan menyatakan bahwa setiap pembahasan regulasi, termasuk KUHAP yang tengah berjalan, dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak dan disampaikan secara terbuka kepada publik.

 

Apabila RUU Polri masuk dalam agenda pembahasan Komisi III, pola yang sama akan diterapkan, yakni dengan penyampaian substansi yang jelas serta diskusi yang melibatkan pakar dan masyarakat luas. Selain itu, Hinca menegaskan bahwa keterbukaan ini bukan hanya sebatas formalitas, tetapi harus menjadi budaya dalam setiap proses pembentukan kebijakan.

 

Hinca juga menyoroti bahwa keterbukaan bukan hanya diterapkan dalam revisi regulasi besar, tetapi juga dalam kasus-kasus hukum yang ditangani oleh Komisi III. Menurutnya, transparansi adalah bentuk pertanggungjawaban kepada publik agar setiap kebijakan yang dihasilkan memiliki legitimasi yang kuat.

 

Pembahasan RUU Polri sendiri masih menunggu langkah dari pemerintah, karena bukan merupakan inisiatif DPR. Dalam konteks ini, partisipasi masyarakat menjadi sangat penting, sehingga suara publik dapat didengar dan dipertimbangkan dalam setiap keputusan yang diambil.

 

Sementara itu, Ketua DPR RI Puan Maharani menegaskan bahwa belum ada Surpres yang diterima oleh pimpinan DPR, sehingga pembahasan belum bisa dimulai. Ia juga menepis beredarnya daftar inventarisasi masalah (DIM) yang diklaim sebagai bagian dari pembahasan revisi UU Polri.

 

Menurutnya, dokumen yang beredar bukan dokumen resmi, sehingga publik diminta untuk tidak berspekulasi mengenai isi revisi sebelum adanya dokumen yang sah. Dengan semakin meningkatnya penggunaan media sosial dalam menyebarkan informasi, penting bagi masyarakat untuk mendapatkan sumber informasi yang akurat dan terpercaya terkait dengan perkembangan RUU Polri.

 

DPR berkomitmen untuk tidak tergesa-gesa dalam membahas revisi UU Polri, terutama karena regulasi ini memiliki dampak luas terhadap tata kelola kepolisian di Indonesia. Puan menegaskan bahwa proses pembahasan hanya akan dilakukan setelah adanya dokumen resmi dari pemerintah.

 

Oleh karena itu, seluruh aspek dalam revisi UU Polri akan ditelaah secara mendalam agar tidak menimbulkan kontroversi yang berkepanjangan. Dalam konteks ini, berbagai kelompok masyarakat, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat diharapkan dapat berperan aktif dalam memberikan masukan agar revisi UU Polri benar-benar membawa dampak positif bagi penegakan hukum di Indonesia.

 

Selain itu, dorongan untuk segera membahas revisi UU Polri juga datang dari Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Golkar, Soedeson Tandra. Menurutnya, revisi UU Polri perlu segera dibahas agar selaras dengan revisi KUHAP yang tengah berjalan.

 

Ia menilai bahwa pembaruan hukum acara pidana harus diikuti dengan penyesuaian terhadap regulasi kepolisian dan kejaksaan, sehingga ada harmonisasi dalam sistem hukum nasional. Dalam sistem hukum yang terus berkembang, penting bagi regulasi yang mengatur lembaga penegak hukum untuk selalu selaras agar tidak menimbulkan tumpang tindih kewenangan yang dapat menghambat proses penegakan hukum.

 

Soedeson juga menekankan bahwa pembahasan RUU Polri dan Kejaksaan perlu disegerakan karena keduanya masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Dengan adanya revisi KUHAP yang sudah dalam tahap awal pembahasan, penyesuaian regulasi terkait kewenangan aparat penegak hukum menjadi krusial untuk memastikan keseimbangan dalam sistem peradilan pidana.

 

Ia berharap bahwa RUU Polri dapat segera dibahas setelah revisi KUHAP rampung, agar tidak terjadi ketimpangan dalam penerapan hukum di lapangan. Proses legislasi yang tepat waktu dan dilakukan dengan memperhatikan berbagai perspektif dari pemangku kepentingan akan memastikan bahwa hasil revisi undang-undang dapat diterapkan secara efektif di lapangan.

 

Dengan menjadikan keterbukaan sebagai tolok ukur, diharapkan bahwa setiap tahapan pembahasan dapat diikuti oleh publik secara aktif dan menghasilkan peraturan yang mencerminkan kepentingan masyarakat luas.

 

Upaya untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam proses legislasi juga dapat dilakukan dengan membuka berbagai forum diskusi dan konsultasi publik guna menampung berbagai aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat.

 

Keterbukaan dalam legislasi bukan hanya menjadi indikator kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan DPR, tetapi juga sebagai mekanisme kontrol terhadap kebijakan yang akan diterapkan.

 

Dengan adanya jaminan transparansi, segala bentuk spekulasi dan ketidakpastian mengenai revisi UU Polri dapat diminimalisir. Oleh karena itu, pemerintah dan DPR harus berpegang pada prinsip ini dalam setiap langkah pembahasan agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar memenuhi kebutuhan hukum dan keadilan di Indonesia.

 

Dalam jangka panjang, transparansi dalam proses legislasi akan berkontribusi terhadap peningkatan kepercayaan publik terhadap institusi negara serta memperkuat legitimasi setiap kebijakan yang dihasilkan. (*)

 

*) Analis Politik Nasional – Forum Kajian Demokrasi Indonesia