Kawal Pemilu Bersih Tanpa Politik Identitas
Oleh : Haby Frasco
Indonesia akan segera memasuki tahun politik dan iklim politik di negeri ini sudah terasa kian hangat. Pemilihan umum (Pemilu) tahun 2024 sebentar lagi akan berlangsung. Namun, menghilangkan praktek politik identitas sepertinya masih menjadi tantangan penting. Terlebih karena berkaitan erat dengan kesetaraan hak, persatuan, dan prinsip demokrasi di negeri ini.
Politik identitas berpotensi menghancurkan prinsip-prinsip demokrasi. Apalagi, Indonesia sudah menganut sistem demokrasi sebagai sistem pemerintahan.
Sebagai negara demokratis, sudah sepantasnya masyarakat Indonesia memiliki kesetaraan hak dalam Pemilu. Apabila praktek politik identitas semakin menguat, dapat dipastikan tidak akan ada lagi persamaan hak untuk seluruh rakyat Indonesia.
Maka, seluruh pihak mesti turut serta mengawal keberlangsungan Pemilu 2024 bersih tanpa adanya politik identitas. Pasalnya, praktek kotor dalam berpolitik ini sangat merusak iklim demokrasi di Indonesia yang dapat mengakibatkan perpecahan di tengah masyarakat.
Sebenarnya, pembahasan mengenai politik identitas masih terbilang baru di tanah air. Walaupun aspek-aspeknya sudah telah lama ada namun baru dirasakan belakangan ini.
Sejak dahulu, politik memang erat berkaitan dengan identitas.
Identitas dalam berpolitik merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa dipisahkan. Partai Politik harus memiliki identitas agar dapat mewakili orang-orang yang memiliki identitas yang sama dengan mereka.
Bila ditarik sejarahnya, pada masa orde lama, ada Partai Masyumi mewakili identitas umat islam yang anti terhadap kekuasaan Mantan Presiden Soekarno. Ada pula Partai Komunis Indonesia mewakili sebagian besar kaum buruh. Selain itu, juga ada Partai Nasional Indonesia sebagai kendaraan politik Mantan Presiden Soekarno yang mendukung kebijakan-kebijakan Presiden Indonesia pertama tersebut.
Bentuk politik identitas kerap digunakan sebagai jalan mencari massa oleh para elite politik, dengan mengusung kesamaan suku, ras, agama, dan etnik. Oleh karena itu, semakin kesini makna politik identitas selalu dikonotasikan dengan hal-hal negatif. Mengingat politik identitas dianggap teknik promosi politik yang lebih mengedepankan identitas dibandingkan gagasan.
Dampak buruk dari politik identitas sangatlah besar. Kandidat yang bertarung dalam Pemilu akan mengabaikan kualitas dan kebijakan yang mereka tawarkan. Sebab, mereka hanya akan berfokus pada politik identitas. Pun kampanye menggunakan politik identitas akan membatasi ruang lingkup diskusi kebijakan politik yang akan mendorong hadirnya diskriminasi.
Seperti yang pernah dijelaskan Aryojati (2020) dalam jurnalnya, maraknya isu politik identitas akan mengancam persatuan masyarakat Indonesia. Contohnya, penggunaan isu agama dalam menghimpun dukungan politik. Terdapat celah yang bisa saja ditumpangi oleh oknum-oknum yang menginginkan perpecahan di Indonesia. Politik identitas berbasis agama dalam kampanye menciptakan jurang pemisah antar kelompok umat beragama di Indonesia.
Belajar dari Pemilu tahun 2019, banyak sekali isu bernuansa politik identitas berkembang di tengah-tengah masyarakat. Utamanya, isu-isu tersebut tersebar luas di media sosial. Umumnya, pola-pola yang dilakukan dengan menyebarkan rumor sampai ujaran kebencian.
Pada Pemilu 2019 silam, masyarakat terpolarisasi berdasarkan kubu pendukung Calon Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Residunya membekap masyarakat dalam polarisasi agama dan etnis. Tampak dari gerakan “2019 ganti presiden”, delegitimasi keputusan lembaga negara (KPU dan MK), sentimen serta penganiayaan terhadap kelompok minoritas.
Saat itu, muncul istilah “cebong-kadrun” plus terjadi tendensi stigmatisasi dukungan politik. Para pendukung Jokowi dianggap proponen tidak agamis. Sedangkan yang mendukung Prabowo seolah mempresentasikan oposisi agamis.
Polarisasi seperti Pemilu 2019 sebetulnya sudah duluan terjadi di Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Kala itu, penggunaan isu identitas digunakan dalam mencari dukungan suara. Banyak hoax bahkan ujaran kebencian berbau SARA yang ditujukan kepada salah satu pasangan calon atau calon perseorangan agar lawan politik tersebut kehilangan dukungan masyarakat.
Persoalannya adalah isu-isu tersebut sampai kepada calon pemilih yang tidak mempunyai cukup pengetahuan dan mudah terpengaruh. Maka ia menelan mentah-mentah isu tersebut yang menyebabkan calon yang dituju kehilangan apresiasi sekalipun jejak karier serta prestasi calon itu cukup mumpuni untuk menjadi pemimpin.
Adanya fenomena politik identitas yang membawa populisme agama akan menjadi ranjau bagi demokrasi. Politik identitas akan menggiring opini publik bahwa orang yang tidak memiliki identitas sama dengan mereka, diartikan tidak pantas untuk menjadi pemimpin atau wakilya. Tentu saja hal ini bisa menyebabkan kaum minoritas akan kehilangan hak yang sama dalam ranah pemilu. Bahkan, ditakutkan lambat laun akan mencederai demokrasi di negara ini.
Mengutip pernyataan Jusuf Kalla dalam suatu kesempatan di televisi swasta, beliau mengatakan bahwa politik identitas seharusnya tidak menjadi persoalan karena Indonesia merupakan negara majemuk. Maka dari itu, menurutnya perbedaan identitas harus dianggap sebagai suatu kekayaan, bukan sumber konflik.
Dalam pandangan Mantan Wakil Presiden Indonesia yang juga dikenal vokal terhadap isu-isu identitas ini, politik identitas bisa menjadi hal positif apabila digunakan untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Sebaliknya, bila digunakan untuk kepentingan politik sempit, maka politik identitas dapat memecah belah masyarakat sehingga menimbulkan konflik.
Oleh karenanya, diharapkan isu-isu politik yang berkaitan dengan identitas yang berbalut ujaran kebencian tidak menjadi faktor utama dalam menentukan pilihan pada Pemilu 2024 mendatang. Calon pemilih yang tidak rasional akan terus bermunculan jika politik identitas masih digunakan sebagai senjata dalam berpolitik.
Sudah semestinya juga partai politik bisa membangun kampanye berbasis gagasan dengan solusi konkret dari permasalahan yang dihadapi masyarakat Indonesia. Sehingga kontestasi Pemilu tidak terus menghadirkan polarisasi yang menimbulkan perpecahan di tengah lapisan sosial masyarakat Indonesia.
)* Penulis adalah kontributor Ruang Baca Nusantara