Kawal Pemilu Bersih Tanpa Politik Identitas
Oleh : Ahmad Dzul Ilmi Muis
Seluruh pihak harus turut serta untuk mengawal keberlangsungan Pemilu 2024 yang bersih tanpa adanya politik identitas. Pasalnya hal tersebut sangat merusak iklim demokrasi di Indonesia dan juga mampu menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat.
Pembahasan mengenai Politik identitas masih menjadi isu baru di Indonesia. Walaupun pada dasarnya aspek-aspek tersebut telah ada sejak lama, efek yang ditinggalkan baru dirasakan belum lama ini. Apalagi ketika bentuk politik identitas digunakan sebagai ajang mencari massa oleh para pemangku kepentingan. Dalam hal ini, para elite politik menggunakan kesamaan suku, agama, ras dan etnik untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Masih teringat dalam ingatan, bagaimana peristiwa politik yang terjadi pada tahun 2017 silam tatkala terjadinya pemilihan Gubernur (Pilgub) di DKI Jakarta. Ternyata adanya praktik politik identitas memang sangatlah menimbukan efek yang hebat. Bagaimana tidak, pasalnya imbas dari penggunaan politik identitas ternyata terus berlanjut hingga pada masa Pemilu Presiden tahun 2019.
Pada tahun tersebut, memang banyak sekali isu yang berkembang di publik, yang mana sangat bernuansa politik identitas, utamanya isu-isu tersebut terus berkembang dan tersebar luas melalui media sosial. Tentu saja, apabila dibiarkan saja, maka akan sangat berbahaya lantaran mampu menggiring opini masyarakat.
Adanya fenomena politik identitas dengan populisme agama akan menjadi ranjau bagi demokrasi negara ketika digunakan oleh pemimpin yang tidak cakap. Politik identitas akan menggiring opini publik bahwa orang yang tidak beridentitas sama dengan mereka tidak pantas untuk menjadi pemimpin. Ini tentu saja menyebabkan kaum minoritas akan kehilangan hak yang sama dalam pemerintahan negara, khususnya dalam ranah pemilu maupun pemilihan. Serta dikhawatirkan secara lambat laun akan mencederai demokrasi.
Sejak Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu, penggunaan isu politik identitas mulai kerap digunakan dalam rangka mencari dukungan suara. Banyak hoax dan ujaran kebencian berbau SARA yang ditunjukkan kepada salah satu pasangan calon atau calon perseorangan, dengan harapan lawan politik kehilangan dukungan masyarakat. Masalahnya adalah, ketika isu-isu tersebut sampai ke calon pemilih yang tidak memiliki cukup pengetahuan dan mudah terpengaruh, besar kemungkinan para calon dari kaum minoritas ini akan kehilangan apresiasi rakyat. Bahkan sekalipun jejak karier serta prestasi calon tersebut cukup mumpuni untuk menjadi pemimpin atau wakil rakyat.
Lantaran sangat berbahaya dan mengancam iklim demokrasi yang ada di Indonesia, maka pihak Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mengajak Nahdlatul Ulama (NU) untuk bekerja sama dalam mencegah terjadinya politisasi identitas dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 mendatang.
Mengenai kerja sama antara Bawaslu dan NU tersebut, Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja menyatakan bahwa pada penyelenggaraan pesta demokrasi Pemilu tahun 2024 mendatang memang harus dilakukan dengan cara yang bersih, utamanya terbebas dari adanya praktik politik identitas.
Terlebih, memang selama ini adanya praktik politik identitas hanyalah digunakan untuk menunjang kepentingan politik praktis dari kelompok tertentu saja yang memiliki kepentingan untuk bisa mendulang suara yang banyak. Tidak hanya menghindari politik identitas, namun dirinya mengaku juga sangat penting mampu menjaga keberlangsungan Pemilu 2024 dari adanya praktik politik uang.
Adanya bulan suci Ramadhan seperti sekarang ini, jangan sampai menjadikan tempat ibadah justru menjadi ajang untuk melakukan kampanye. Termasuk jangan sampai terjadi penggunaan atribut partai politik apapun di dalam tempat ibadah.
Bagja kemudian menjelaskan bahwa ke depannya, pihak Bawaslu akan menggandeng masyarakat untuk melakukan sejumlah gerakan, bahkan dari masyarakat yang tingkat kecil seperti adanya forum warga melalui pelibatan pengurus PBNU, kabupaten kota hingga provinsi dalam membantu upaya menangkal adanya praktik politisasi identitas dan politik uang.
Lebih lanjut, menurut Ketua Bawaslu tersebut, semestinya kontestasi dalam Pemilu merupakan sebuah ajang untuk beradu gagasan, serta hal tersebut menjadi kompetisi untuk bisa meyakinkan masyarakat dengan melalui banyaknya program dan visi misi partai yang harus terus diperjuangkan, bukan justru menawarkan adanya isu-isu tertentu yang menyangkut SARA.
Sementara itu, Ketua PBNU KH Yahya Cholil Staquf atau akrab disapa Gus Yahya menjelaskan politisasi identitas dapat menimbulkan perpecahan di masyarakat. Menurutnya, politik identitas hanya alat dari para kompetitor atau aktor politik untuk menutupi kekurangannya.
Dengan tegas beliau menganggap bahwa adanya praktik politik identitas merupakan sebuah usaha penipuan yang dilakukan oleh para peserta pemilu kepada publik. Bagaimana tidak, pasalnya seharusnya Pemilu adalah ajang untuk beradu gagasan dan argumen, namun justru digunakan untuk melakukan politisasi identitas dan sama sekali tidak ada hal lain yang ditawarkan seperti ide-ide tertentu.
Untuk itu, dia meminta berharap Bawaslu membuat narasi yang kuat soal anti politisasi identitas. Selain itu, Gus Yahya juga menegaskan PBNU siap bekerja sama dengan Bawaslu dalam guna membuat pemilu damai tanpa politik identitas.
Politik identitas merupakan sebuah hal yang sangat kotor dan sama sekali tidak sesuai dengan bagaimana idealnya Pemilu yang seharusnya. Ketika ajang pemilu justru dipenuhi dengan banyaknya isu-isu yang menyangkut SARA, maka tentu hal tersebut akan semakin menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat. Untuk itu, semua pihak harus turut serta mengawal adanya Pemilu 2024 yang bersih tanpa politik identitas.
)* Penulis adalah alumni Fisip Unair