Implementasi Teknologi Wolbachia Efektif Turunkan Kasus DBD
Oleh: Muflihud Hud
Dalam beberapa dekade terakhir, penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) telah menjadi masalah kesehatan global yang signifikan. Penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti ini menyebabkan ribuan kematian setiap tahunnya, dengan dampak terutama dirasakan di daerah tropis dan subtropis di seluruh dunia. Namun, harapan baru muncul dengan teknologi inovatif yang menjanjikan dalam penanganan penyakit ini, yaitu dengan menggunakan nyamuk yang telah dimodifikasi dengan bakteri Wolbachia.
Wolbachia adalah jenis bakteri endosimbiotik yang hidup dalam sel-sel organisme inangnya. Bakteri ini ditemukan dalam berbagai spesies serangga, termasuk nyamuk Aedes aegypti yang bertanggung jawab atas penyebaran virus DBD. Salah satu sifat unik Wolbachia adalah kemampuannya untuk mengubah populasi nyamuk inangnya dengan cara mengurangi kemampuan nyamuk tersebut untuk mentransmisikan virus.
Ketika nyamuk Aedes aegypti mengandung Wolbachia, bakteri tersebut mengganggu perkembangan virus dalam tubuh nyamuk. Hasilnya, nyamuk yang terinfeksi Wolbachia memiliki kemampuan yang lebih rendah untuk menyebarkan virus DBD kepada manusia. Dengan cara ini, penggunaan nyamuk ber-Wolbachia dapat menjadi alat yang efektif dalam mengendalikan penyebaran penyakit DBD.
Kementerian Kesehatan RI telah menerapkan teknologi Wolbachia untuk menurunkan penyebaran DBD di Indonesia. Teknologi ini telah berhasil digunakan di sembilan negara lain seperti Brasil, Australia, Vietnam, dan lainnya.
Teknologi Wolbachia merupakan bagian dari Strategi Nasional Pengendalian DBD. Sebagai pilot project di Indonesia, telah dilaksanakan di lima kota, termasuk Yogyakarta, Kota Semarang, Jakarta Barat, dan Bandung.
Wolbachia dapat menghambat penularan virus dengue oleh nyamuk Aedes aegypti, serta mengontrol reproduksi nyamuk. Efektivitasnya telah diteliti sejak 2011 oleh World Mosquito Program (WMP) di Yogyakarta.
Uji coba di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul pada tahun 2022 berhasil menekan kasus DBD hingga 77% dan mengurangi proporsi dirawat di rumah sakit sebesar 86%.
Kota Yogyakarta menjadi kota pertama di Indonesia yang mengimplementasikan teknologi nyamuk ber-Wolbachia dalam pengendalian DBD. Sejak program ini dimulai pada tahun 2014 lalu, angka kasus DBD di Kota Yogyakarta berangsur menurun, dan pada tahun 2023 mencatatkan rekor terendahnya di angka 67 kasus.
Kepala Bidang Pencegahan Pengendalian Penyakit dan Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, dr. Lana Unwanah menjelaskan bahwa pada 2016 jumlah kasus di Kota Yogyakarta masih sangat tinggi, mencapai lebih dari 1.700 kasus. Tahun 2023 sampai pada minggu lalu tercatat hanya di angka 67, terendah sepanjang sejarah di Kota Yogyakarta. Selain cara-cara yang sudah dikenal seperti pemberantasan nyamuk dengan 3M dan jumantik, penurunan kasus ini tidak terlepas dari intervensi program nyamuk ber-Wolbachia yang dilakukan sejak tahun 2016 sampai saat ini.
Implementasi teknologi mutakhir ini di Kota Yogyakarta dilakukan melalui penitipan ember berisi telur nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia di habitat alaminya di lingkungan masyarakat, dengan dukungan dari Dinas Kesehatan dan berbagai pemangku kepentingan terkait.
Seiring dengan tren penurunan angka kasus dan tingkat rawat inap, kebutuhan akan intervensi fisik berupa pengasapan atau fogging menjadi berkurang. Penggunaan anggaran pemerintah daerah untuk penanganan DBD pun menjadi lebih efisien sehingga dapat dialokasikan untuk penanganan penyakit lainnya.
Menilik kembali perjalanan riset dan implementasi teknologi nyamuk ber-Wolbachia, berbagai tonggak penting telah dicatatkan dalam setiap tahapan yang telah dilalui. Setelah melalui serangkaian proses penelitian, pelepasan perdana telur nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia dilakukan pertama kali pada tahun 2014 lalu di empat padukuhan kecil di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Sleman. Dengan demikian, sudah hampir 10 tahun sebagian masyarakat Yogyakarta hidup dengan nyamuk ber-Wolbachia.
Peneliti Utama WMP Yogyakarta, Prof. Adi Utarini, menjelaskan bahwa implementasi teknologi tersebut di masyarakat didahului analisis risiko oleh tim ahli yang dibentuk Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi untuk mengidentifikasi berbagai potensi dampak, dengan kesimpulan bahwa risiko dari penerapan teknologi ini sangat rendah atau dapat diabaikan. Tidak serta merta diterapkan, melainkan ada proses penting yang dilakukan sebelumnya. Semua dilakukan dengan kehati-hatian dan dikawal dengan ethical clearance.
Program WMP di Yogyakarta sendiri telah berakhir pada tahun 2022 lalu, dengan hasil yang membuktikan bahwa teknologi ini efektif mengurangi 77% kasus Dengue dan 86% rawat inap karena Dengue. Berbekal data-data ini, WMP kemudian berhasil memperoleh rekomendasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) serta Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), dan selanjutnya akan diimplementasikan di kota-kota lain di Indonesia. Agar bisa diterapkan secara luas di berbagai daerah, tim WMP telah mengembangkan model implementasi program bekerja sama dengan Dinas Kesehatan daerah, termasuk melakukan rangkaian kegiatan pelatihan dan menyediakan buku panduan.
Meskipun program WMP menunjukkan hasil yang sangat signifikan, masyarakat tetap diimbau untuk tetap menjalankan metode pencegahan dan pengendalian DBD seperti gerakan 3M Plus dan menjaga kebersihan diri dan lingkungan.
*Penulis adalah Mahasiswa FKUB