Geopolitik Pangan Konflik Rusia-Ukraina Berdampak Pada Perekonomian di Indonesia
Konflik Rusia-Ukraina yang berlangsung lebih 1,5 bulan tak hanya memicu krisis energi (minyak, gas, dan batu bara), tetapi juga memantik kenaikan harga-harga pangan, terutama gandum, minyak goreng, dan turunannya.
Kedua negara itu memasok sekitar 25% serealia dunia. Khusus untuk gandum, Rusia dan Ukraina memasok 31% kebutuhan gandum dunia: Ukraina sekitar 25% dan Rusia 6%. Ketika keduanya berkonflik, pasokan gandum dunia terguncang. Harga gandum di pasar dunia melonjak 56%, dari sekitar 8 dollar AS menjadi 12,4 dolar AS per gantang (bushel), sejak perang berkecamuk.
Khudori selaku Anggota Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia menyampaikan, bahwa Indonesia, dampak krisis Rusia-Ukraina tentu tak seberat Mesir dan kawan-kawan. Namun, konsekuensi konflik Ukraina dan Rusia tidak bisa dianggap sepele. Andil Ukraina dan Rusia dalam memasok gandum ke Indonesia mencapai 30% (Ukraina 23%, sisanya dari Rusia). Rusia juga pemasok utama pupuk ke Indonesia.
“Tatkala harga impor pupuk fosfat dari Rusia naik, plus kenaikan harga gas, komponen utama pupuk Urea, harga aneka pupuk pun melonjak tinggi. Ruang fiskal yang sempit memaksa pemerintah menyederhanakan subsidi pupuk mulai Juli nanti: dari semula 5 kini hanya 2 (Urea dan NPK) yang disubsidi. Dan hanya 7 komoditas (dari semula 70) yang menerima subsidi,” jelas Khudori ketika ditemui di Jakarta, Minggu (10/4).
Efek domino penyederhanaan subsidi pupuk ini bisa panjang. Pertama, 3,2 juta hektare dari 7,4 juta hektare sawah ada di luar Jawa. Sawah-sawah ini tetap memerlukan pupuk diluar Urea dan NPK. Ketika harga pupuk, ZA dan SP-36 misalnya, naik berlipat-lipat ada peluang petani mengurangi, bahkan tidak memupuk sawahnya.
Kedua, harga pupuk non-subsidi akan naik-turun mengikuti mekanisme pasar. Meskipun pupuk hanya mengambil 10% dari ongkos produksi, kenaikan harga pupuk nonsubsidi akan menekan kapasitas petani. Dalam jangka panjang taruhannya adalah produksi aneka pangan pokok.
Khudori mengharapkan, pemerintah kedepannya harus menyelaraskan kebijakan yang diambil.
“Inilah ruang adaptasi yang dilakukan pemerintah. Terlepas dari dampak buruknya, respons kebijakan harus diambil. Tidak bisa dibiarkan tanpa ada kebijakan. Kerumitan semacam ini hadir given sejak pandemi Covid-19 menyergap. “Dunia yang satu” dan terkoneksi satu sama lain menyulitkan untuk melakukan isolasi,” katanya.
Betapa Indonesia tidak sendiri bisa disimak dari tidak siapnya sejumlah negara tatkala merespons harga-harga pangan naik tinggi sejak tahun lalu. Kenaikan berasal dari negara-negara dengan populasi besar, seperti China dan India, yang mengalami beralih dari status pandemi ke endemi.
Permintaan yang tinggi dan tiba-tiba tak serta-merta bisa direspons oleh pasokan, yang memang memerlukan waktu. Harga pun terpantik tinggi. Setahun terakhir, harga oat naik 112,6%, kopi 82,6%, gandum 65,7%, minyak sawit 57,8%, kanola 43,3%, gula 31,6%, jagung 33%, dan kedelai 20,4%.
Kenaikan lebih tinggi terjadi pada minyak mentah (65,6%), gas alam (150,3%), dan batu bara (213,2%). Ada dua dampak kenaikan simultan itu. Pertama, perebutan kontainer pengiriman barang yang berujung kelangkaan. Kedua, biaya transportasi makin mahal. Harga pangan yang sudah jadi mahal kian mahal.
Kenaikan harga-harga itu niscaya memicu inflasi.
Setelah gangguan pasokan dari pandemi Covid-19, perang Rusia-Ukraina telah meningkatkan inflasi global yang tinggi dan menjalar ke banyak negara. Turki, misalnya, lira yang terjun bebas mendorong inflasi makanan jadi 64,5% (year on year).
Kazakhstan, Azerbaijan, Mesir, Kongo, Lebanon, Turki, dan Armenia menghadapi risiko serius. Negara-negara ini tidak hanya tergantung akut pada biji-bijian Rusia-Ukraina, tapi mayoritas warganya memakai ponsel, pemuda menganggur tinggi, dan indeks demokrasinya rendah. Kenaikan harga pangan plus inflasi bisa jadi bahan bakar jitu guna menggerakan kerusuhan sipil (Jaochim Klement, 2022).
Situasi ini mengingatkan pada krisis pangan 2008 dan 2011. Dalam dua peristiwa itu, krisis pangan disulut oleh produksi yang turun dan daya beli warga yang rendah, yang kemudian diikuti ekspektasi penurunan suplai.
Ketika pintu ekspor pangan oleh negara-negara eksportir ditutup, pasar panik dan harga pangan pun meroket. Berkelindan dengan krisis energi dan spekulasi di pasar komoditas, krisis pangan kian dalam. Huru-hara membuat pemerintahan jatuh, seperti di Haiti, Tunisia, Mesir dan Libya. Ada pelajaran penting: krisis pangan akan memicu instabilitas politik jika pemerintah gagal menangani.
Situasi mutakhir ini, diakui atau tidak, telah meningkatkan kecemasan di banyak negara, termasuk di Indonesia. Idealnya, negara bisa melakukan intervensi dalam bentuk subsidi pangan misalnya. Masalahnya, tidak semua negara memiliki kapasitas fiskal baik. Intervensi, bisa jadi, berujung pada naiknya beban utang. Jika intervensi tidak dilakukan, legitimasi pemerintah bisa terjun bebas. Situasinya tak mudah.
Tidak ada pilihan yang ideal. Dalam kondisi demikian, fokus utama negara harus memastikan kelompok miskin dan rentan terlayani dan dijamin aksesnya pada pangan. Agar daya belinya tetap terjaga.
Bantuan langsung tunai (BLT) Rp300 ribu kepada 20,5 juta keluarga penerima program sembako, program keluarga harapan, dan 2,5 juta pedagang kaki lima gorengan adalah bagian dari kehadiran negara untuk menjamin daya beli itu. Operasi pasar atau bazar sembako murah insidentil bisa dilakukan untuk memberikan pilihan pada warga.
Ini semua solusi jangka pendek. Dalam jangka menengah-panjang, perlu langkah serius menggenjot produksi pangan di hulu, memperbaiki rantai pasok yang tak efisien, dan memastikan pasar mendekati persaingan sempurna. Bauran kebijakan ini dimaksudkan guna memastikan Indonesia tidak akan terseret jauh lebih dalam jika dunia krisis pangan.