spot_img
BerandaEkonomiBanyak Aksi Demo UU TNI Karena Masyarakat Belum Pahami...

Banyak Aksi Demo UU TNI Karena Masyarakat Belum Pahami Informasi Utuh

Banyak Aksi Demo UU TNI Karena Masyarakat Belum Pahami Informasi Utuh

Oleh: Andi Ramli

Gelombang demonstrasi yang menolak revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) terus bermunculan di berbagai daerah. Massa aksi turun ke jalan dengan membawa berbagai tuntutan yang didasarkan pada kekhawatiran terhadap dampak revisi tersebut. Namun, fenomena ini sesungguhnya lebih banyak dipicu oleh kurangnya pemahaman yang utuh terhadap substansi perubahan yang telah disahkan oleh DPR RI.

 

 

 

 

Wakil Ketua Komisi I DPR Dave Laksono menilai bahwa banyaknya aksi protes ini terjadi karena masyarakat belum sepenuhnya memahami isi revisi UU TNI. Sejumlah tafsir pribadi berkembang luas dan menciptakan persepsi yang keliru mengenai substansi aturan baru itu.

 

 

 

 

Padahal, perubahan dalam UU TNI justru bertujuan membatasi peran TNI di ranah sipil, bukan sebaliknya. Beberapa jabatan yang sebelumnya memang telah ditempati oleh anggota TNI aktif kini hanya ditambah menjadi 14 instansi, termasuk BNPT, BNPB, dan BNPP. Di luar dari daftar tersebut, anggota TNI yang masih aktif harus mundur atau pensiun jika ingin menduduki jabatan di instansi sipil lainnya.

 

 

 

 

Menurut Dave, hambatan komunikasi turut memperparah kesalahpahaman di tengah masyarakat. Hingga kini, banyak pihak yang belum menerima draf final dari revisi UU TNI, sehingga beragam spekulasi bermunculan.

 

 

 

 

Salah satu kekhawatiran yang kerap disuarakan dalam demonstrasi adalah anggapan bahwa UU ini akan memperluas kewenangan TNI dalam ranah sipil dan kepolisian. Padahal, dalam ketentuan yang telah disahkan, tidak ada celah bagi TNI untuk memasuki ranah tersebut secara berlebihan.

 

 

 

 

Selain itu, penambahan usia dinas atau perpanjangan batas pensiun bagi perwira tinggi bertujuan agar rotasi kepemimpinan dalam tubuh TNI tidak terlalu cepat. Selama ini, banyak perwira bintang empat yang hanya berdinas dalam waktu singkat sebelum akhirnya digantikan. Hal ini dinilai menghambat kesinambungan strategi pertahanan negara.

 

 

 

 

Wakil Ketua DPRD Jawa Barat MQ Iswara juga menyoroti akar persoalan dari maraknya penolakan terhadap UU TNI. Menurutnya, masyarakat memperoleh informasi yang tidak utuh mengenai revisi ini, sehingga muncul berbagai asumsi yang tidak sesuai dengan realitas kebijakan.

 

 

 

 

Jika diperhatikan secara saksama, revisi ini sama sekali tidak mengandung upaya untuk menghidupkan kembali Dwifungsi ABRI seperti yang dikhawatirkan banyak pihak. Sebaliknya, revisi ini justru semakin mempertegas batasan peran TNI dalam sektor sipil.

 

 

 

 

Sebelum revisi, anggota TNI aktif dapat mengisi 10 jabatan di instansi pemerintahan, sedangkan kini jumlahnya hanya bertambah menjadi 14. Sementara itu, di luar daftar tersebut, anggota TNI yang masih aktif wajib mengundurkan diri sebelum menduduki jabatan tersebut.

 

 

 

 

Iswara juga menegaskan bahwa demonstrasi merupakan hak masyarakat dalam menyampaikan aspirasi, namun ia mengingatkan agar aksi dilakukan secara tertib. Setiap kelompok yang ingin berdialog dengan pemerintah sebaiknya memastikan terlebih dahulu bahwa mereka memahami substansi dari UU yang mereka kritik. Sebab, banyak aksi demonstrasi yang justru didasarkan pada asumsi keliru akibat kurangnya pemahaman terhadap isi regulasi yang telah disahkan.

 

 

 

 

Anggota Komisi III DPR Hinca Panjaitan memberikan pandangan serupa. Ia mengingatkan bahwa setiap individu yang merasa keberatan terhadap pengesahan UU TNI memiliki jalur hukum yang tersedia, yakni dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

 

 

 

 

Jika memang ditemukan adanya pasal-pasal yang dianggap bermasalah, maka jalur hukum merupakan mekanisme terbaik untuk menguji konstitusionalitas undang-undang tersebut. Ia juga meminta agar masyarakat yang menolak revisi ini terlebih dahulu membaca dan memahami substansi pasal-pasal dalam UU TNI yang telah direvisi. Dengan cara ini, argumen yang disampaikan dalam aksi protes dapat lebih konstruktif dan berbasis data yang valid.

 

 

 

 

Hinca juga mengingatkan agar setiap bentuk demonstrasi dilakukan secara damai tanpa tindakan anarkistis. Kritik terhadap kebijakan pemerintah merupakan bagian dari demokrasi, tetapi harus dilakukan dengan cara yang tidak merugikan pihak lain.

 

 

 

 

Sayangnya, masih ada demonstrasi yang digelar tanpa pemahaman yang matang mengenai substansi aturan yang ditolak. Akibatnya, perdebatan yang terjadi justru semakin memperkeruh opini publik tanpa menghasilkan solusi yang konstruktif.

 

 

 

 

Munculnya berbagai aksi protes terhadap revisi UU TNI menunjukkan bahwa transparansi dalam penyampaian informasi masih perlu diperbaiki. Sosialisasi mengenai perubahan regulasi semacam ini harus lebih gencar dilakukan oleh pemerintah dan lembaga legislatif agar masyarakat tidak terjebak dalam asumsi yang keliru.

 

 

 

 

Penolakan terhadap suatu kebijakan sah dilakukan, namun harus disertai pemahaman yang komprehensif terhadap isi aturan yang dikritik. Dengan begitu, diskusi publik dapat berjalan secara lebih sehat dan menghindarkan masyarakat dari kesalahan persepsi yang justru merugikan kepentingan bersama. (*)

 

 

 

 

Analis Politik Nasional – Forum Kajian Demokrasi Indonesia