Balonpres Tak Punya Gagasan Besar Memprihatinkan
Ketika seorang bakal calon presiden (Balonpres) Pilpres 2024, Anies Baswedan (AB) misalnya, mempersoalkan hal-hal kecil atau remeh-temeh. Salah satu di antaranya membanding-bandingkan kinerja Presiden Sosilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi), itu sekaligus menyampaikan pesan kepada publik bahwa dirinya (AB) tidak percaya diri dan tidak mandiri di dalam berfikir dan bertindak sebagai Baloncapres. Memprihatinkan. Mengapa?
Memperbincangkan hal yang remeh-temeh, menunjukkan dirinya sangat lemah dari sudut leadership, managerial dan kemandirian. Sebab, seorang kandidat Balonpres yang akan menjadi presiden mutlak harus memiliki karakter kepemimpinan kukuh, punya management skill yang tegas dan berani serta memiliki kemandirian, tidak di bawah bayang-bayang pengaruh sosok tertentu, SBY misalnya.
Sebab, Baloncapres semacam itu menunjukkan yang bersangkutan tidak punya pemikiran dan gagasan besar tentang Indonesia lima tahun dan yang berdampak ke masa-masa yang akan datang untuk Indonesia Raya, setelah dirinya tidak lagi menjadi presiden. Oleh karena itu, lebih baik bagi AB mulai saat ini mengapresiasi semua kinerja presiden periode sekarang dan yang sebelumnya, sembari menawarkan gagasan besar untuk kesejahteraan rakyat di tengah persaingan global di semua bidang kehidupan manusia. Bukan malah urusin/mewacanakan hal-hal yang menimbulkan polemik tidak produktif.
Balonpres dari Koalisi Perubahan dan Persatuan, AB mengatakan, pembangunan jalan nasional non-tol era kepemimpinan Presiden Sosilo Bambang Yudhoyono (SBY) lebih panjang dibandingkan era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Perbandingan ini jelas sebagai tindakan framing komunikasi. Mengapa? AB sama sekali tidak mengemukakan perbandingan luas jalan dan kualitas konstruksi bangunan jalan. AB hanya melihat data kuantitatif panjang saja. Dari sudut kualitas bangunan jalan misalnya, AB tidak menyinggung sama sekali berapa persen panjang jalan tersebut yang bisa jadi sudah rusak (bergelombang, tergenang air dan lumpur di saat musim hujan) sebelum waktunya. AB juga tidak mengemukakan bagaimana derita rakyat dan supir truk dan angkutan umum yang melintas di jalan rusak tersebut. Dengan demikian, jelas AB sangat tidak fair. AB punya agenda politik prakmatis. Padahal, sebagai Balonpres, harus bertindak negarawan dengan menawarkan pemikiran besar.
Jika mau objektif, AB wajib melakukan kajian mendalam dan holistik sebelum menyampaikan perbandingan pembangunan (jalan) ketika pemerintahan SBY dan Jokowi. Bila ditemukan ada ketidaksesuaian dengan rencana anggaran bagunan (jalan rusak), AB harus menjelaskan mengapa sejumlah panjang jalan hancur sebelum waktunya, misalnya, sehingga AB bisa mengemukakan potensi kerugian negara dari pembangunan jalan. Berdasarkan temuan tersebut, bisa saja AB melaporkan ke KPK potensi tindak pidana korupsi atas pembangunan jalan masa pemerintahan tertentu. Dengan demikian, AB bertindak fair dan pro rakyat.
Selain itu, kalaupun memang AB harus membandingkan, lakukanlah perbandingan yang setara di semua sektor pembangunan fisik dan sosial dari aspek kuantitatif dan kualitatif dengan seperangkat instrumen yang sudah diuji validitas, reliabilitas dan keabsahan datanya. Jangan sekali-kali melakukan perbandingan seperti pembicaraan di warung kopi. Sebab, AB sudah termasuk seorang yang menjadi Baloncapres, bukan seseorang yang sedang “berkombur” di sebuah lapo tuak.
Balonpres AB yang memuji kinerja Presiden SBY yang saat ini menjadi ketua umum (Ketum) partai yang boleh jadi kelak mendukungnya menjadi Balonpres, disadari atau tidak olehnya, Balonpres AB sama saja memosisikan dirinya sebagai subordinat dari Presiden SBY dan sekaligus berpotensi dimaknai bahwa AB sebagai boneka dari partai yang akan mengusungnya.
Jelas, sosok Balonpres semacam ini ketika kelak menjadi presiden (tentu kalua terpilih), ia sangat-sangat lemah dan cenderung kurang berdaya. Bisa jadi memang seolah-olah diciptakan “berdaya” dengan mengemukakan pesan komunikasi ke ruang publik dengan mengatakan “petunjuk dan atau arahan bapak presiden”. Padahal, semua tindaktanduknya produk kendali dari luar istana. Ia cenderung menempatkan dirinya sebagai wayang yang diarahkan melalui “remote control” oleh dalang di panggung belakang politik.
Ketika menjadi presiden berkantor di istana, terbuka kesempatan besar tiga pemegang “remote control” di tiga lokasi yang berbeda, bisa jadi dari kawasan proklamasi, gondangdia, dan pasar minggu yang memegang kendali mengarahkan presiden berfikir, berencana, membuat kebijakan, bertindak dan sebagainya. Ia menjadi benar-benar disetir dari tiga lokasi tersebut. Yang membuat dirinya lebih pusing lagi ketika keinginan tiga pemegang “remote control” mengarahkan ke “mata angin” politik yang berbeda. Kesejahteraan rakyat bukan lagi agenda utama, tetapi hanya sebagai akibat ikutan.
Untuk itu siapapun Balonpres, termasuk AB mutlak memiliki dan harus mengemukakan pemikiran dan gagasan besar mewujudkan kesejahteraan rakyat di semua bidang menjadikan negeri ini Indonesia Raya, bukan mewacanakan hal-hal yang remeh-temeh.
Setidaknya ada lima pemikiran dan gagasan besar yang saya sodorkan kepada para Balonpres, terutama kepada AB yang dapat dilakukan secara simulta untuk kesejahteraan rakyat. Pertama, menawarkan pembangunan, setidaknya berbasis pada teknologi industri 4.0, kalau memungkinkan dengan teknologi industri 6.0. Kedua, membuat kebijakan dan program konkrit menyambut bonus demografi yang akan terjadi di Indonesia. Ketiga, menawarkan clean economy dengan menggunakan energy baru dan terbarukan. Keempat, menawarkan green economy yaitu industri dengan efisiensi dan produktivitas yang tinggi serta low emission. Kelima, menawarkan blue economy. Indonesia dengan kekayaan laut dan pantai yang luar biasa, sehingga menghasilkan devisa negara yang sangat besar. Lima pemikiran besar ini harus diturunkan pada level program yang terukur dan menyajikan berbagai strategi merealisasikannya.