Bahaya Politik Identitas dalam Pemilu, Masyarakat Harus Terlibat Mengawasi
Jakarta — Menjadi sangat berbahaya apabila praktik politik identitas ternyata masih terjadi dalam gelaran Pemilu 2024. Maka dari itu, masyarakat harus terus terlibat dalam melakukan pengawasan.
Ketua Umum PPP, Mardiono mengatakan bahwa sejatinya memang seluruh makhluk memiliki identitas yang melekat dalam diri mereka.
“Soal identitas ya, yang identitas itu semua makhluk memiliki dan harus memiliki. Kalau seseorang tidak memiliki identitas, itu berbahaya mereka,” katanya.
Kemudian, menurutnya, identitas tidak bisa sesempit dimaknai sebatas nama seseorang saja, melainkan dari mana dirinya dilahirkan apa kewarganegaraannya hingga apa agamanya pun masih tergolong sebagai identitas.
“Identitas saya dilahirkan dari rahim ibu saya, bapak saya. Ini adalah identitas saya. Nama saya Muhamad Mardiono. Ini adalah identitas saya. Warga negara saya adalah warga Indonesia. Ini adalah identitas saya. Agama saya Islam, ini adalah identitas saya,” lanjut Mardiono.
Dengan sifat dasar identitas yang merupakan sesuatu yang melekat dengan makhluk, sehingga memang tidak bisa dipungkiri kalau seseorang pasti mempunyai identitas.
“Jadi identitas seseorang harus memiliki,” ujarnya.
Meski sifatnya yang pasti melekat kepada masing-masing individu, namun menurut Ketum PPP itu sama sekali tidak boleh dalam praktik berpolitik justru menggunakan identitas dan mengadu dombanya.
“Yang tidak diperbolehkan adalah identitas yang dipergunakan untuk politik yang membenturkan identitas satu dengan identitas yang lain. Nah, berbenturan itulah yang tidak diperkenankan. Nah, termasuk di dalam politik,” jelasnya.
Sementara itu, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mengemukakan bahwa sangat penting adanya upaya untuk bisa mencegah politik identitas.
Anggota Bawaslu, Herwyn JH Malonda mengaku bahwa dalam era arus teknologi informasi seperti sekarang, maka pencegahan politik identitas bisa dengan bekerja sama dengan pihak Kominfo serta pemangku kepentingan media sosial.
“Kami juga akan melakukan nota kesepahaman dengan Menkominfo terkait pengawasan dan pencegahan konten internet berita bohong SARA, politik Identitas. Serta, membangun kerja sama dengan pemangku kepentingan sosial media salah satunya Meta,” ucapnya.
Menurutnya, adanya politisasi SARA biasanya muncul lantaran terjadinya ketimpangan sosial ekonomi di masyarakat, sehingga identitas sangat mudah dijadikan faktor determinan untuk menyulut solidaritas kelompok.
Bukan hanya itu, namun menurut Herwyn ternyata juga terdapat peran elite politik tertentu yang cara komunikasinya masih menyinggung psikologi massa.
“Isu SARA menjadi sangat masif dan menyebar ke ruang publik karena diproduksi dan dikapitalisasi oleh elite politik, seperti konsultan politik, anggota parpol, tim sukses, dan elite ormas tertentu, sehingga memberikan dampak ketegangan sosial,” ungkapnya.
Peranan masyarakat juga menjadi sangat penting untuk bisa melakukan pengawasan pada proses pemilu, utamanya mengenai praktik politik identitas.
“Tidak lupa ada peran masyarakat dalam kegiatan pengawasan pilkada, untuk mendeteksi dan melaporkan dugaan pelanggaran terutama terkait dengan penggunaan isu SARA dalam kampanye,” tuturnya.