Pemulihan Aceh Butuh Kondusivitas, Masyarakat Diimbau Tolak Narasi Separatis
Pemulihan Aceh Butuh Kondusivitas, Masyarakat Diimbau Tolak Narasi Separatis
Oleh: Teuku Rassya
Proses pemulihan Aceh pascabencana banjir bandang dan longsor terus menunjukkan kemajuan signifikan seiring kerja terkoordinasi pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah menegaskan bahwa fokus utama saat ini adalah memastikan pemulihan infrastruktur berjalan optimal, kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi, serta stabilitas sosial tetap terjaga agar Aceh dapat bangkit secara berkelanjutan tanpa gangguan narasi yang berpotensi memecah persatuan.
Kementerian Pekerjaan Umum mencatat progres penanganan infrastruktur pascabencana telah mencapai 89,47 persen. Dari total 38 ruas jalan nasional yang terdampak, sebagian besar telah kembali fungsional, sementara sisanya masih mengandalkan jalur alternatif.
Pemerintah memprioritaskan perbaikan jalur tengah Aceh yang menghubungkan Bireuen, Bener Meriah, dan Aceh Tengah karena memiliki peran strategis dalam mendukung distribusi logistik dan mobilitas ekonomi masyarakat. Meskipun di beberapa titik masih diterapkan sistem buka tutup, pemerintah memastikan upaya perbaikan terus dilakukan secara intensif.
Selain jalan, Kementerian PU juga memfokuskan penanganan pada jembatan dan longsoran. Dari belasan jembatan nasional yang rusak, sebagian besar telah kembali berfungsi, baik di lokasi semula maupun melalui jembatan darurat. Ratusan titik longsor yang sebelumnya menghambat akses kini sebagian besar telah tertangani.
Pemerintah pusat bersama TNI dan BUMN konstruksi terus mengerahkan jembatan Bailey ke titik-titik kritis untuk menjaga konektivitas wilayah hingga perbaikan permanen selesai. Dengan capaian tersebut, pemerintah optimistis seluruh jalur utama Aceh dapat kembali normal paling lambat akhir Januari 2026.
Sejalan dengan itu, Pemerintah Aceh memastikan bahwa satu bulan pascabencana menjadi fase peralihan dari penanganan darurat menuju rehabilitasi dan rekonstruksi. Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, menegaskan bahwa perhatian pemerintah daerah tidak hanya tertuju pada jalan nasional, tetapi juga jalan lintas kampung yang mengalami kerusakan cukup parah. Ia mengakui masih terdapat sejumlah akses antarpermukiman yang belum sepenuhnya pulih, namun seluruhnya telah masuk dalam rencana penanganan lanjutan.
Muzakir Manaf juga menekankan bahwa distribusi bantuan logistik terus dilakukan sesuai kebutuhan di lapangan. Pemerintah daerah memastikan kebutuhan dasar para pengungsi relatif tercukupi, termasuk menjelang bulan puasa. Untuk warga yang rumahnya rusak berat, pemerintah masih memfokuskan bantuan hunian sementara berupa tenda keluarga, sembari memproses pembangunan rumah sementara dan perencanaan hunian permanen secara bertahap. Ia menilai bahwa pemulihan berskala besar membutuhkan waktu dan koordinasi lintas sektor, namun menegaskan seluruh tingkatan pemerintahan kini bergerak lebih intensif.
Di tengah proses pemulihan yang terus berjalan, pemerintah menilai pentingnya menjaga situasi tetap kondusif dan tidak terganggu oleh penyebaran isu separatis. Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Iwan Setiawan, menilai bahwa pengibaran simbol separatis di ruang publik, terlebih di tengah situasi bencana, tidak dapat dinormalisasi. Menurutnya, simbol tersebut memiliki muatan ideologis dan historis yang kuat sehingga berpotensi merusak komitmen perdamaian yang telah dibangun melalui proses panjang dan pengorbanan besar.
Iwan memandang bahwa kemunculan simbol-simbol tersebut mengindikasikan masih adanya residu ideologi separatis yang tidak boleh diberi ruang pembenaran. Ia menilai bahwa negara perlu bersikap tegas namun tetap terukur, terutama ketika indikasi simbolik mulai bergeser menjadi ancaman keamanan. Dalam konteks ini, tindakan aparat dipahami sebagai upaya pencegahan konflik, bukan bentuk intimidasi.
Lebih lanjut, Iwan menyoroti bahwa pola separatisme kontemporer banyak bergerak melalui ruang digital. Media sosial kerap dimanfaatkan untuk membangun narasi emosional, memelintir persepsi publik, serta mendiskreditkan peran negara dalam penanganan bencana. Dalam narasi tersebut, kontribusi pemerintah, aparat, relawan, dan unsur kemanusiaan sering kali dihilangkan untuk membangun kesan bahwa negara abai terhadap penderitaan masyarakat.
Iwan juga menilai bahwa bencana kerap dieksploitasi sebagai momentum provokasi karena kondisi emosional masyarakat yang masih berduka. Narasi ketidakadilan yang dibangun secara tidak proporsional berisiko memicu konflik horizontal dan melemahkan kepercayaan publik terhadap negara. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya keseimbangan antara ketegasan dan pendekatan persuasif agar stabilitas Aceh tetap terjaga tanpa menghidupkan kembali trauma masa lalu.
Pemerintah menegaskan bahwa menjaga perdamaian Aceh merupakan bagian tak terpisahkan dari agenda pemulihan. Pembangunan infrastruktur, distribusi bantuan, dan rehabilitasi sosial tidak akan berjalan optimal tanpa situasi yang aman dan kondusif. Karena itu, masyarakat diimbau untuk tidak menyebarkan isu separatis maupun narasi provokatif yang dapat mengganggu persatuan.
Dengan progres pemulihan yang terus menunjukkan hasil nyata dan dukungan lintas sektor yang semakin kuat, pemerintah optimistis Aceh dapat bangkit secara bertahap menuju kondisi yang lebih stabil dan sejahtera. Partisipasi masyarakat dalam menjaga persatuan dan menutup ruang bagi provokasi separatis menjadi kunci agar pemulihan Aceh berjalan berkelanjutan di atas fondasi perdamaian yang kokoh.
Pemerintah juga menilai bahwa keberhasilan pemulihan Aceh membutuhkan kepercayaan publik yang terus dijaga melalui transparansi dan komunikasi yang akurat. Dengan memastikan informasi yang beredar berbasis fakta serta menutup ruang disinformasi, pemerintah berharap masyarakat dapat tetap fokus pada agenda pemulihan dan penguatan perdamaian jangka panjang.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik