Penyesuaian Harga BBM untuk Menyelamatkan Negeri
Oleh : Made Prawira
Pemerintah resmi mengumumkan penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada Sabtu (3/9). Penyesuaian itu mutlak diperlukan karena sangat efektif untuk bisa menyelamatkan negeri ini karena anggaran negara bisa lebih ditekan dan penyaluran Bansos kepada rakyat kurang mampu dapat terus dilanjutkan.
Saat ini Pemerintah harus benar-benar mampu untuk menyusun dan menyiapkan strategi sebaik mungkin supaya permasalahan perekonomian di Indonesia bisa teratasi.
Pasalnya memang belakangan Indonesia sendiri tengah terus berjuang untuk kembali pulih dan mempercepat pertumbuhan ekonomi setelah dua tahun dihantam pandemi Covid-19, ditambah dengan kenyataan adanya kondisi geopolitik yang sedang tidak menguntungkan karena konflik Rusia dengan Ukraina hingga adanya kabar Inflasi dan resesi di Amerika Serikat.
Maka dari itu, salah satu jalan keluar terbaik yang bisa diupayakan adalah dengan mengatur penggunaan APBN sebaik mungkin, karena sejauh ini pengalokasian APBN memang terus membengkak dengan biaya penanganan dan pengendalian pandemi Covid-19 serta bagaimana subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang telah digelontorkan oleh negara kepada masyarakat.
Terkait hal tersebut, Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan membeberkan beberapa fakta bahwa sudah sejak tahun 2008 silam Indonesia ternyata hanyalah menjadi negara importir murni akan minyak.
Hal itu lantaran adanya ketidakseimbangan antara jumlah produksi dan jumlah konsumsi masyarakat.
Bagaimana tidak, pasalnya jumlah konsumsi BBM yang diperlukan oleh masyarakat saja mencapai 1,6 juta barel, sedangkan produksi yang mampu ditanggung negara hanyalah 600 ribu barel per harinya. Maka dari itu Pemerintah terus melakukan impor minyak untuk bisa mencukupi jumlah konsumsi masyarakat, namun di sisi lain biaya yang dikeluarkan juga sangatlah besar karena prosesnya yang panjang mulai dari eksplorasi, eksploitasi hingga penambangan.
Terlebih, menurut Mamit, konsumsi BBM bersubsidi yang sudah ditanggung oleh Pemerintah tersebut nyatanya justu 80 persen diantaranya malah dinikmati oleh masyarakat yang tergolong mampu sehingga bisa dikatakan subsidi dengan mengorbankan biaya APBN tersebut kurang tepat sasaran. Maka dari itu, pria yang juga pernah menjabat sebagai Sekjen IAPT tersebut menyatakan bahwa Pemerintah harus mengganti pola subsidinya dari yang sebelumnya berbasis barang menjadi berbasis orang agar penerima subsidi benar-benar tepat sasaran dan menyasar ke masyarakat kurang mampu.
Salah satu opsi terbaik yang bisa dilakukan oleh Pemerintah menurutnya adalah dengan melakukan pembatasan subsidi. Pasalnya jika hal tersebut tidak segera dilakukan, maka justru akan membuat penyesuaian harga mejadi kurang efektif dan kuota ketersediaan akan tetap kembali jebol. Maka dari itu ruang fiskal bagi APBN bisa tercipta jika terjadi penyesuaian harga dan pembatasan subsidi tersebut.
Sementara itu, Eks Juru Bicara Kementerian Perdagangan, Fithra Faisal Hastiadi menyatakan bahwa memang konsumsi BBM yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia sangatlah besar, bahkan kecepatan permintaannya pun terus melonjak naik hingga sangat berpotensi untuk terus membuat bengkak subsidi BBM dan menyedot APBN lebih dari Rp 500 triliun. Kenyataan tersebut menurutnya diperparah dengan kondisi masyarakat yang sampai sekarang masih belum memahami kalau Pemerintah sedang mengalami masalah APBN.
Kondisi terburuk yang bisa saja terjadi apabila penyesuaian harga BBM subsidi dan pembatasan subsidi tidak segera dilakukan oleh Pemerintah, maka proyeksi APBN akan menjadi defisit pada tahun 2023 mendatang bahkan bisa saja defisit tersebut berada di bawah 3 persen sehingga tentu akan sangat tidak sehat untuk kelangsungan negara.
Ekonom dari Universitas Indonesia tersebut sebenarnya menyadari bahwa permasalahan ini bukanlah karena Pemerintah tidak memiliki cukup uang, namun baginya hanyalah persoalan bagaimana menata dan mengalokasikan dana tersebut menjadi seefektif dan seefisien mungkin, utamanya mengenai subsidi yang harus ditanggung oleh APBN hendaknya harus benar-benar tepat sasaran.
Fithra Faisal menambahkan bahwa penyesuaian harga BBM subsidi jika bisa dengan cepat dilakukan, maka dampaknya akan menjadi semakin baik untuk Indonesia sendiri, lantaran jika Pemerintah terus menunda kenaikan harga BBM, maka akan terjadi efek jangka panjang yang terjadi. Meski begitu, apabila memang harga BBM harus disesuaikan, maka Pemerintah juga harus menyiapkan bantalan sosial untuk masyarakat.
Mengenai dana bantalan sosial yang akan diberikan kepada masyarakat ketika terjadi kenaikan harga BBM, Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyampaikan bahwa pihaknya sudah menyiapkan sekitar Rp 24 triliun. Baginya, dana bantalan sosial tersebut juga merupakan hal yang sangat penting untuk bisa mengamankan kelompok-kelompok yang rentan di Indonesia, utamanya mereka yang rawan jatuh miskin apabila tiba-tiba terjadi gejolak.
Data menunjukkan, di Indonesia sendiri ada sekitaran 20 hingga 30 juta orang yang tergolong dalam kelompok paling rawan jatuh miskin jika ada turbulensi semacam itu. Maka Fithra Faisal kembali menyatakan bahwa justru skema pemberian bantalan sosial akan jauh lebih mampu menekan atau menghemat anggaran APBN sehingga dananya bisa dialokasikan untuk hal-hal yang jauh lebih produktif lainnya.
Dengan seluruh uraian tersebut, maka sudah terbukti bahwa jika Pemerintah sesegera mungkin melakukan penyesuaian harga BBM subsidi, maka hal tersebut akan sangat mampu untuk menyelamatkan negeri ini dari berbagai macam ancaman, termasuk diantaranya adalah guncangan stabilitas ekonomi yang bisa saja berujung pada adanya resesi.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute