Cegah Anggaran Bengkak, Pengamat Dukung Penyesuaian Harga BBM
Para pengamat menegaskan bahwa mereka mendukung penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Hal tersebut merupakan opsi terbaik untuk bisa mencegah anggaran negara terlalu membengkak.
Saat ini negara menanggung besar pengeluaran APBN dari subsidi BBM. Pasalnya harga keekonomian bahan bakar Pertalite saja sudah berada pada sekitar Rp 14 ribuan. Kemudian untuk harga Solar sendiri berada di angka Rp 18 ribuan.
Sedangkan jika dibandingkan dengan harga BBM yang terdistribusi di kawasan Uni Eropa, bahkan sudah berada di sekitar Rp 30 ribuan.
Namun BBM di Indonesia sendiri harganya jauh di bawah itu, sehingga menjadi salah satu yang sangat murah, akan tetapi membuat disparitas harganya harus ditanggung oleh APBN.
Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan saat menghadiri wawancara di sebuah stasiun televisi menyatakan bahwa kenyataan tersebut diperparah dengan posisi Indonesia yang saat ini sudah menjadi negara importir murni.
Bagaimana tidak, pasalnya kebutuhan konsumsi BBM masyarakat sangat jauh melebihi kapasitas produksi.
“Sejak tahun 2008, Indonesia sudah menjadi importir murni karena konsumsi dan kebutuhan tidak seimbang. Saat ini konsumsi sudah mencapai 1,6 juta barel dan produksi 600 ribu barel setiap harinya, sehingga harus impor satu juta barrel perhari,” ujar Mamit.
Sedangkan untuk bisa mengebor minyak, menurutnya membutuhkan biaya yang cukup besar.
“Untuk mendapatkan minyak juga membutuhkan proses yang panjang, seperti eksplorasi, eksploitasi, pengembangan lapangan, hingga nanti ke tahap produksi. Dan hulu migas adalah industri yang high risk dan high cost” tambahnya.
Sementara itu, Ekonom Universitas Indonesia (UI), Fithra Faisal Hastiadi juga menambahkan bahwa jika permintaan akan konsumsi BBM terus bertambah, maka subsidi yang ditanggung oleh APBN juga akan semakin membengkak.
“Kecepatan demand BBM diyakini akan berdampak pada bengkaknya subsidi BBM dari Rp. 500 triliun hingga Rp. 700 triliun karena orang-orang tidak merasa bahwa minyak sudah mahal,” jelasnya.
Apabila kondisi tersebut terus terjadi, maka menurut Fithra bukan tidak mungkin APBN akan mengalami defisit pada 2023 mendatang.
“Defisit APBN kita kan targetnya dibawah 3 persen dan sekarang memang sudah ke arah situ, tapi jangan sampai di tahun 2023, sesuai dengan amanat Undang-Undang No.2 Tahun 2020 bahwa defisit harus di bawah 3 persen, harus terlampaui lagi” ungkap Fithra.
Maka dari itu, Mamit Setiawan menyarankan bahwa opsi terbaik yang bisa dilakukan oleh Pemerintah adalah dengan melakukan pembatasan subsidi.
“Salah satu opsi yang perlu juga diambil adalah pembatasan subsidi karena jika konsumsi tidak dibatasi, maka penyesuaian harga tidak efektif karena kuota pasti akan jebol. Dengan adanya penyesuaian maka akan ada ruang fiskal bagi APBN,” terangnya.
Pria yang juga pernah menjabat sebagai Sekjen IAPT tersebut menyampaikan bahwa penyesuaian harga BBM merupakan keputusan terbaik yang bisa diambil.
Hal tersebut dikarenakan bukan hanya subsidi akan menjadi tepat sasaran, namun APBN juga tidak akan terlalu terbebani.
“Penyesuaian harga BBM menjadi win win solution karena subsidi akan tepat sasaran, APBN tidak terbebani, dan akhirnya masyarakat tidak mampu akan tetap dibantu pemerintah,” katanya.
Senada, Eks Jubir Kemendag, Fithra Faisal juga menyampaikan hal yang sama bahwa penyesuaian harga BBM jika dilakukan secepatnya akan semakin baik.
“
Penyesuaian harga BBM lebih cepat maka akan semakin baik. Hal ini disebabkan jika pengumuman ditunda akan ada efek yang lebih panjang. Saat ini harga-harga sudah mulai naik karena produsen sudah bersiap menaikan harga dan dampak inflasinya akan semakin besar,” pungkasnya.