Optimalisasi Aset Tingkatkan Pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis
Oleh: Eleine Pramesti
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dirancang sebagai salah satu program unggulan pemerintah memiliki tujuan utama untuk meningkatkan kualitas kesehatan dan kecerdasan anak-anak Indonesia. Program ini merupakan respons terhadap tantangan gizi buruk, stunting, dan ketimpangan akses makanan sehat yang masih menghantui banyak daerah, khususnya di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Salah satu langkah strategis yang dapat ditempuh adalah optimalisasi aset negara sebagai pendorong utama keberhasilan implementasi program MBG.
Aset negara dalam konteks ini mencakup segala bentuk kekayaan negara, baik berupa tanah, bangunan, fasilitas publik, maupun sumber daya logistik yang dimiliki pemerintah pusat dan daerah. Banyak dari aset-aset tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal dan masih menyisakan potensi yang besar untuk mendukung pelaksanaan program sosial, termasuk MBG.
Dalam pelaksanaan program MBG, aset negara dapat berperan dalam berbagai lini. Misalnya, gedung sekolah yang selama ini hanya difungsikan untuk kegiatan belajar mengajar dapat diintegrasikan dengan dapur umum atau fasilitas penyimpanan bahan makanan bergizi. Melalui pendekatan ini, distribusi makanan tidak perlu lagi menghadapi tantangan logistik yang rumit. Aset lahan kosong milik negara di daerah pinggiran kota maupun desa dapat diubah menjadi lahan pertanian lokal atau kebun pangan bergizi, yang menyuplai kebutuhan sayur dan buah untuk program MBG secara mandiri dan berkelanjutan.
Sebagai contoh, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah bakal memanfaatkan aset milik pemprov sebagai dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) untuk akselerasi program MBG. Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi mengatakan sudah menginstruksikan Tim Percepatan Program MBG Jawa Tengah untuk memetakan aset pemprov yang dapat dimanfaatkan sebagai dapur SPPG.
Hasilnya, terdapat 21 aset milik Pemprov Jateng dan satu aset milik badan usaha milik daerah (BUMD), terdiri atas 12 bangunan dan tujuh bidang tanah. Selain itu, 34 SMK di Jateng yang memiliki katering/tata boga/kantin tipe A yang sudah bersertifikat BPOM dan sejauh ini sudah ada tujuh satuan pendidikan masuk daftar usulan dapur SPPG. Ahmad mengatakan koordinasi dengan instansi lainnya, seperti TNI dan Polri, juga terus dilakukan karena keduanya juga memiliki dapur SPPG agar seluruh pemangku kepentingan berjalan bersama untuk kesuksesan program MBG.
Optimalisasi aset juga membuka peluang penghematan anggaran. Dengan memanfaatkan bangunan dan sarana milik pemerintah, maka tidak perlu mengalokasikan dana besar untuk membangun fasilitas baru. Ini berarti anggaran yang tersedia bisa lebih difokuskan pada pengadaan bahan pangan bergizi, pengawasan kualitas makanan, hingga pelatihan tenaga kerja yang terlibat dalam program. Dalam jangka panjang, efisiensi ini memperkuat daya tahan program MBG agar tetap berjalan meskipun menghadapi tekanan fiskal.
Optimalisasi aset juga harus menyasar sistem manajemen aset itu sendiri. Banyak kendala yang timbul dalam program sosial karena buruknya sistem pencatatan dan pengelolaan aset. Aset yang terbengkalai atau tidak jelas status hukumnya sering menjadi hambatan administratif. Oleh karena itu, pemerintah harus mempercepat reformasi manajemen aset dengan melakukan audit nasional, sertifikasi, dan integrasi data antar lembaga. Ketika sistem ini telah rapi dan terintegrasi, maka mobilisasi aset untuk mendukung program MBG bisa dilakukan dengan lebih sigap dan tanpa hambatan birokrasi.
Dalam konteks daerah, peran pemerintah provinsi dan kabupaten sangat krusial dalam optimalisasi aset. Mereka perlu diberdayakan untuk melakukan pemetaan kebutuhan MBG sesuai dengan karakteristik lokal. Tidak semua daerah membutuhkan intervensi yang sama. Pendekatan berbasis potensi lokal ini membuat program MBG tidak hanya memberikan makanan bergizi, tetapi juga memperkuat kedaulatan pangan dan perekonomian daerah.
Selain itu, Ketua Umum Gerakan Indonesia Mandiri (Ketum GIM), Heikal Safar mengatakan telah melakukan peletakan batu pertama pembangunan enam dapur mandiri di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Pembangunan dapur tersebut untuk mendukung program MBG yang digagas Presiden Prabowo Subianto.
Menurut Heikal, pembangunan dapur mandiri nantinya ketika beroperasi ditargetkan mampu memproduksi hingga 8.000 porsi makanan setiap harinya. Adapun rata-rata 3.000 siswa-siswi sebagai penerima manfaat. Heikal menyebut, dapur MBG yang dibangun bekerja sama dengan Badan Gizi Nasional (BGN) melalui pola kemitraan mandiri, dan mengikuti standar BGN.
Lebih jauh lagi, optimalisasi aset dalam konteks MBG juga menjadi pintu masuk untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan secara umum. Ketika aset negara dikelola dengan baik dan transparan, maka kepercayaan publik terhadap pemerintah meningkat. Program-program sosial seperti MBG pun akan mendapatkan legitimasi yang lebih kuat di mata masyarakat. Selain itu, pendekatan ini juga memperkuat prinsip keadilan sosial karena manfaatnya dirasakan langsung oleh kelompok paling rentan seperti anak-anak dan keluarga miskin.
Presiden RI, Prabowo Subianto sendiri menekankan pentingnya pengawasan dalam pelaksanaan program MBG ini. Pengawasan tersebut penting agar program MBG tidak dikorupsi dan dapat berjalan sesuai dengan tujuan utamanya. Pada akhirnya, dengan sinergi antara pengelolaan aset yang cermat, kolaborasi multi pihak, dan partisipasi aktif masyarakat, maka program MBG dapat menjadi tonggak peradaban baru yang menyehatkan generasi bangsa dan memperkuat fondasi kemajuan Indonesia ke depan.
)* Penulis adalah Jurnalis Energi di Greenpeace Resources Institute