Duit Rakyat Bocor, Saatnya Libas Korupsi Migas di Pertamina
Oleh: Ditha Karuniawati
Kasus korupsi di sektor migas mencuat dengan skala yang mengejutkan. Dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina selama periode 2018-2023 telah merugikan negara hingga Rp193,7 triliun. Skandal ini menegaskan bahwa praktik mafia migas masih ada meskipun berbagai upaya pemberantasan telah dilakukan, termasuk pembubaran Petral pada 2015.
Dalam penanganan kasus ini, Anggota DPR Benny K Harman mengungkapkan bahwa ada tiga masalah utama yang ditemukan berdasarkan laporan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung di Komisi III DPR RI. Masalah pertama adalah mark up harga impor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM), yang memungkinkan para pelaku meraup keuntungan besar dari transaksi impor. Kedua, upgrade blending BBM, yaitu praktik mengoplos pertalite menjadi pertamax dengan mekanisme yang diduga tidak transparan dan merugikan konsumen. Ketiga, mark up dalam kontrak pengiriman minyak, di mana terdapat tambahan biaya ilegal sebesar 13-15 persen per kapal yang digunakan dalam proses distribusi.
Benny menegaskan bahwa dari tiga skema korupsi ini, dapat diprediksi siapa saja aktor utama yang terlibat dalam mega korupsi ini. Kejaksaan Agung sendiri telah memeriksa sembilan saksi yang berasal dari berbagai posisi strategis di Ditjen Migas Kementerian BUMN dan Pertamina. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memperkuat pembuktian terhadap para tersangka, termasuk Yoki Firnandi, Direktur Utama PT Pertamina Internasional Shipping, dan Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, beserta tujuh tersangka lainnya.
Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat, Didik Mukrianto, menyoroti bahwa kasus yang melibatkan PT Pertamina Patra Niaga ini mengindikasikan bahwa mafia migas masih eksis di lingkungan Pertamina. Ia mempertanyakan apakah yang berubah hanya lokasi kejahatannya, sementara para pemainnya tetap sama. Bahkan, ia menduga banyak oknum di dalam Pertamina yang bekerja untuk mafia migas. Menurutnya, perlu ada pengungkapan yang menyeluruh agar Pertamina benar-benar terbebas dari cengkeraman mafia migas.
Kasus ini membuktikan bahwa praktik korupsi di sektor migas bukan hanya melibatkan individu tertentu, tetapi merupakan jaringan yang terstruktur dan telah mengakar selama bertahun-tahun. Didik Mukrianto menegaskan bahwa jika Pertamina tidak dibersihkan dari mafia migas, maka korupsi akan terus berulang dengan pola yang berbeda tetapi dengan aktor yang sama.
Salah satu tantangan utama dalam memberantas mafia migas adalah kekuatan yang melindungi mereka. Kasus serupa di masa lalu, seperti pembubaran Petral, sempat menumbuhkan harapan akan reformasi sektor migas, namun kenyataannya mafia migas tetap beroperasi dalam sistem yang lebih tersembunyi. Situasi ini mengindikasikan bahwa sekadar menutup atau mengganti satu institusi tidak cukup untuk menghentikan praktik korupsi, tetapi harus ada penindakan hukum yang menyasar seluruh jaringan, termasuk para pelindungnya.
Dampak dari korupsi migas ini tidak hanya terbatas pada kerugian negara secara finansial, tetapi juga berimbas langsung pada masyarakat. Mark up harga impor minyak mentah dan BBM dapat berdampak pada kenaikan harga bahan bakar yang pada akhirnya membebani rakyat. Selain itu, praktik blending BBM yang tidak transparan juga bisa merugikan konsumen, baik dari segi kualitas bahan bakar maupun harga yang tidak sesuai dengan standar seharusnya.
Korupsi dalam sektor migas juga memperburuk iklim investasi di Indonesia. Investor yang melihat ketidaktransparanan dalam tata kelola energi akan berpikir dua kali sebelum menanamkan modalnya di Indonesia. Akibatnya, sektor energi yang seharusnya menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi justru menjadi sumber ketidakstabilan akibat praktik korupsi yang menggerogoti sistem dari dalam.
Untuk memastikan bahwa kasus ini benar-benar dituntaskan dan tidak berakhir seperti skandal sebelumnya, Prabowo dalam Asta Cita nya telah menegaskan pemberantasan korupsi hingga ke level atas. Penyidikan tidak hanya menyasar eksekutor di lapangan, tetapi juga mengungkap siapa saja yang menjadi dalang utama di balik mega korupsi ini.
Struktur pengelolaan di Pertamina kinu juga terus diperbaiki agar tidak lagi menjadi sarang mafia migas. Reformasi dilakukan dengan memperkuat mekanisme audit internal dan menempatkan orang-orang yang memiliki integritas tinggi dalam posisi strategis.
Kejaksaan Agung terus memastikan bahwa penyidikan kasus ini tidak melemah di tengah jalan. Penegakan hukum yang tegas dan berkelanjutan adalah kunci untuk mengakhiri dominasi mafia migas di Indonesia.
Kasus korupsi di Pertamina yang kini terungkap menjadi bukti bahwa mafia migas masih eksis dan terus beradaptasi dalam sistem yang ada. Praktik mark up impor minyak mentah, manipulasi blending BBM, serta biaya ilegal dalam pengiriman minyak menunjukkan bahwa pola korupsi ini sudah berjalan secara sistematis. Apalagi hal ini sama saja dengan merampok APBN yang mana adalah uang rakyat dan Presiden Prabowo tentu tidak ingin hal ini terus terjadi.
Tanpa tindakan tegas, mafia migas akan terus menggerogoti keuangan negara dan membebani masyarakat dengan harga energi yang tidak wajar. Pemerintah dan aparat hukum terus berupaya membuktikan bahwa mereka serius dalam memberantas korupsi di sektor migas, bukan hanya sekadar membuat gebrakan di awal tanpa penyelesaian yang nyata.
Nanti saat kasus ini benar-benar dituntaskan, Indonesia akan selangkah lebih dekat menuju tata kelola energi yang lebih transparan, adil, dan bebas dari korupsi.
*) Penulis adalah Kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia