Fundamental Ekonomi Indonesia Tetap Kuat di Tengah Pelemahan Rupiah
Oleh: Hamdan Zulfikar
Di tengah gejolak ekonomi global yang sangat dinamis, Indonesia menghadapi tantangan besar dengan melemahnya nilai tukar Rupiah. Meskipun demikian, fundamental ekonomi Indonesia tetap menunjukkan kekuatan yang signifikan. Ketahanan ekonomi yang kuat ini menjadi benteng dalam menghadapi tekanan eksternal, mencerminkan stabilitas makroekonomi yang kokoh dan potensi pertumbuhan yang menjanjikan.
Sering kali nilai tukar Rupiah yang melemah dipandang sebagai indikator kelemahan ekonomi. Namun, situasi ini juga harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Melemahnya Rupiah bukan semata-mata cerminan dari faktor domestik, melainkan juga dipengaruhi oleh dinamika ekonomi global seperti kebijakan moneter di negara-negara maju, fluktuasi harga komoditas, dan ketidakpastian geopolitik.
Fundamental ekonomi Indonesia yang kuat dapat dilihat dari beberapa indikator kunci. Pertama, pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap stabil di kisaran 5 persen, didukung oleh konsumsi domestik yang kuat dan investasi yang terus tumbuh. Kedua, inflasi berada dalam rentang yang terkendali, mencerminkan efektivitas kebijakan moneter Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas harga.
Selain itu, cadangan devisa Indonesia tetap berada pada tingkat yang aman, memberikan buffer yang cukup untuk menghadapi volatilitas pasar. Rasio utang pemerintah terhadap PDB juga relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan, menunjukkan pengelolaan fiskal yang prudent.
Pemerintah Indonesia juga terus melakukan reformasi struktural untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas ekonomi. Investasi di sektor infrastruktur, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan penyederhanaan regulasi menjadi fokus utama untuk menciptakan lingkungan usaha yang kondusif dan menarik bagi investor.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati juga menegaskan meskipun nilai tukar rupiah terkoreksi hingga mencapai Rp16.400, perekonomian Indonesia tetap menunjukkan stabilitas yang kuat. Hal ini dibuktikan oleh berbagai indikator ekonomi makro yang positif, seperti penjualan ritel dan kondisi kredit perbankan yang masih stabil.
Indikator makro yang mendukung stabilitas ekonomi meliputi indeks penjualan riil masyarakat yang mencerminkan pemulihan konsumsi, Mandiri Spending Index (MSI), tingkat kepercayaan masyarakat, serta konsumsi semen dan listrik. Purchasing Managers’ Index (PMI) yang terjaga juga memberikan fondasi yang cukup baik untuk memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di kuartal II, sebagaimana yang terjadi di kuartal I. Selain itu, kredit perbankan juga mengalami kenaikan yang tercermin dari ekspansi kredit investasi, modal kerja, dan konsumsi.
Jumlah kredit yang tumbuh sebesar 12,3 persen dan peningkatan dana pihak ketiga sebesar 8,1 persen menunjukkan kesehatan sektor perbankan. Pengelolaan APBN tahun ini akan tetap dilakukan dengan hati-hati untuk menghadapi tantangan seperti fluktuasi nilai tukar rupiah, perubahan harga minyak, dan hasil imbal dari Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan pemerintah. Koordinasi dengan Bank Indonesia (BI) akan terus dilakukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar dalam menghadapi dinamika pasar dan global yang tinggi serta proses transisi politik.
Gubernur BI, Perry Warjiyo menyampaikan bahwa meskipun indikator makro menunjukkan seharusnya rupiah menguat, faktor eksternal yang kuat menyebabkan pelemahan nilai tukar. Ketegangan geopolitik dan keputusan Fed Fund Rate yang tidak sesuai perkiraan mempengaruhi nilai tukar jangka pendek. BI merespons dengan menaikkan suku bunga acuan, menyebabkan rupiah sempat melemah ke level Rp15.900 per dolar AS.
Sejak akhir 2023, nilai tukar rupiah telah mengalami pelemahan sebesar 5,92 persen, yang masih lebih baik dibandingkan dengan mata uang negara lain seperti won Korea Selatan dan bath Thailand. BI akan terus berperan di pasar untuk menstabilkan nilai tukar rupiah, salah satunya dengan menggunakan cadangan devisa yang saat ini berada pada posisi $139 miliar. Rupiah diproyeksikan akan menguat karena faktor fundamental seperti inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi yang baik.
Pelemahan nilai tukar rupiah juga direspons oleh Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo yang menyebutkan bahwa kondisi saat ini adalah waktu yang tepat untuk meningkatkan produksi pangan dalam negeri, mengingat harga pangan dunia yang sedang tinggi. Menurutnya, produksi dalam negeri perlu disiapkan agar bisa diekspor jika terjadi kelebihan, sehingga Indonesia bisa menjadi lumbung pangan.
Penguatan Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) juga penting sebagai instrumen dalam menjaga kestabilan pasokan dan harga pangan. Seluruh pemangku kepentingan di bidang pangan perlu bekerja sama dalam meningkatkan produksi CPP. Penguatan CPP, sangat bermanfaat karena dapat membantu menyerap produksi petani dan peternak dengan harga yang baik, serta digunakan untuk intervensi pemerintah dalam stabilisasi pangan.
Stok level masing-masing komoditas pangan strategis yang menjadi CPP, berdasarkan Perpres 125 tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah, idealnya berkisar 5 hingga 10 persen dari kebutuhan nasional. Untuk komoditas beras, misalnya, kebutuhan beras tahunan sekitar 31,2 juta ton, sehingga stok beras yang dimiliki pemerintah minimal harus sejumlah 1,5 juta ton. Saat ini, stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) di Bulog mencapai 1,6 juta ton.
Penguatan CPP bisa menjadi opsi untuk memastikan ketersediaan pangan yang stabil dan harga yang terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. Presiden Joko Widodo bahkan turun langsung memantaunya dalam setiap kunjungan untuk mengecek stok dan ketersediaan beras di gudang Bulog, memastikan stok aman. Pemenuhan stok beras ini harus diprioritaskan berasal dari produksi dalam negeri demi menjawab tantangan dan dinamika lingkungan strategis.
Secara keseluruhan, meskipun Rupiah mengalami tekanan, fundamental ekonomi Indonesia tetap kuat dan solid. Dengan pendekatan kebijakan yang tepat dan reformasi yang berkelanjutan, Indonesia siap untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan mengatasi tantangan ekonomi global yang sangat dinamis.
)* Penulis adalah pengamat ekonomi dari Ekonomi Madani Institute