Mengamankan Proses Demokrasi dengan Damai dan Tanpa Ujaran Kebencian
Oleh Januar Adi Putra
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan pilar utama dalam sistem demokrasi yang memungkinkan rakyat untuk berpartisipasi dalam menentukan pemimpin dan wakilnya. Pada tahun 2024, Indonesia akan kembali menggelar Pemilu, dan dengan semangat kebersamaan, seluruh elemen masyarakat dapat berkontribusi untuk menyukseskan proses ini dengan aman dan damai, tanpa meninggalkan jejak ujaran kebencian. Dalam semangat kerjasama dan kebersamaan, masyarakatpun diajak untuk membangun Pemilu yang inklusif dan membanggakan.
Pemilu adalah saat di mana berbagai ide dan pandangan bersaing untuk mendapatkan dukungan rakyat. Meskipun berbeda, keragaman pendapat harus tetap dihargai dan berusaha untuk memahami sudut pandang orang lain. Sehingga, lingkungan yang mendukung proses demokratis dapat diciptakan dengan berdialog secara konstruktif.
Para calon atau peserta Pemilu dan pendukungnya memiliki tanggung jawab untuk menjaga etika dalam berkompetisi. Serangan pribadi, fitnah, dan ujaran kebencian harus dihindari, dan fokus pada gagasan, visi, dan program kerja masing-masing calon. Dengan demikian pemilih dapat membuat keputusan berdasarkan informasi yang benar dan obyektif. Partai politik dan peserta Pemilu memiliki tanggung jawab untuk menjalani kampanye dengan etika yang tinggi. Sebab, sebagai pemimpin potensial, mereka memiliki peran dalam membentuk budaya politik yang positif.
Selain itu, peran penting setiap warga negara juga diperlukan untuk berpartisipasi aktif sebagai pemilih cerdas. Melakukan riset, perbandingan, dan pertimbangan yang matang adalah wajib sebelum menentukan pilihan. Hal tersebut akan membuat masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh emosi dan informasi yang tidak terverifikasi kebenarannya. Dengan kehadiran pemilih yang cerdas, maka akan terbentuk pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat ke depannya.
Setiap individu memiliki tanggung jawab untuk menjadi pemilih yang cerdas. Diantaranya dapat dilakukan dengan melibatkan diri dalam diskusi, memahami program calon, dan menjauhi propaganda serta ujaran kebencian dapat membentuk pemilih yang kritis dan informatif.
Jika terdapat perbedaan pendapat atau konflik, dapat diselesaikan dengan cara damai dan rasional. Provokasi yang dapat memicu ketegangan di masyarakat tidak boleh dilakukan, karena Pemilu adalah momen untuk membangun, bukan menghancurkan hubungan sosial. Oleh sebab itu, masyarakat selain sebagai pemilih cerdas juga memiliki kekuatan untuk mengawasi, memberikan kritik konstruktif, dan mendukung proses Pemilu. Bersama-sama, penyebaran ujaran kebencian dapat dicegah dengan menjadi bagian dari kampanye anti-ujaran kebencian, yaitu dengan membagikan informasi yang positif, menghindari penyebaran berita palsu, dan mengajak orang-orang di sekitar untuk memahami pentingnya menjaga kedamaian selama Pemilu.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengajak masyarakat untuk mewaspadai serangan black campaign, hoax, dan ujaran kebencian yang berpotensi meningkat menjelang pelaksanaan Pemilu pada 14 Februari 2024. Selain waspada, masyarakat juga diimbau agar jangan menjadi bagian dalam penyebar apalagi sampai memproduksi berbagai konten tersebut. Berkaca pada pengalaman Pemilu 2019, maraknya konten black campaign, hoax, dan ujaran kebencian mengakibatkan politik menjadi sangat tegang, sehingga suasana persatuan dan kesatuan bangsa juga terancam.
Seluruh elemen masyarakat memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa proses Pemilu berjalan adil dan terbuka. Setiap bentuk kecurangan atau pelanggaran hukum yang dapat merugikan integritas Pemilu harus segera dilaporkan. Dengan sikap yang jujur dan terbuka, dapat dipastikan bahwa hasil Pemilu mencerminkan kehendak rakyat. Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika, didukung KPU dan Bawaslu, bahkan dengan melibatkan Polri dan penyedia platform media sosial, terus meningkatkan koordinasi dan sinergi untuk membentuk tata kelola dalam menangani serangan black campaign, hoax, dan ujaran kebencian.
Dibandingkan dua pemilu sebelumnya, polarisasi masyarakat menjelang Pemilu 2024 dinilai tidak begitu terasa. Meski demikian, Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu tidak mengendurkan pengawasan terhadap berbagai pelanggaran pemilu, termasuk yang terjadi di internet. Anggota Bawaslu, Lolly Suhenty, mengatakan, setiap tahapan Pemilu menyimpan kerawanan. Masyarakat mungkin terlihat adem-ayem, tetapi penyelenggara Pemilu tidak akan mengendurkan pengawasan. Sebab, meskipun tidak terlihat adanya polarisasi, perdebatan di media sosial cukup dinamis
Menurut Lolly, menurunkan konten negatif bukanlah satu-satunya cara mengatasi misinformasi, disinformasi hingga ujaran kebencian yang tersebar di dunia maya. Cara lain yang menurutnya penting adalah dengan memberikan edukasi digital terkait Pemilu kepada masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada kerja sama dengan content creator untuk menciptakan konten edukatif yang bisa melawan disinformasi.
Untuk itu, pendidikan politik, baik di tingkat individu maupun kelompok, dibutuhkan untuk dapat meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya penyelenggaraan Pemilu tanpa ujaran kebencian. Dengan mengintegrasikan pendidikan politik yang aktif, dapat tercipta generasi yang cerdas, kritis, dan memiliki integritas tinggi dalam berpartisipasi di Pemilu 2024.
Dengan mengamalkan nilai-nilai demokrasi, menghormati perbedaan pendapat, dan mempromosikan perdamaian, rakyat Indonesia bisa bersama-sama menyukseskan Pemilu 2024, sebagai peristiwa yang membangun dan memperkuat fondasi demokrasi Indonesia. Mari jadikan proses ini sebagai contoh bahwa keberagaman dapat menjadi kekuatan yang mempersatukan, bukan memecah belah.
*) Penulis merupakan anggota Liga Demokrasi Mahasiswa Indonesi