Indopol : Ganjar-Mahfud Kandidat Potensial Pereformasi Hukum Indonesia
Jakarta – Pasangan Calon (Paslon) yang memiliki rekam jejak dan pengalaman yang kuat dalam hukum dibutuhkan Indonesia, karena saat ini hukum berada dalam kondisi yang memprihatinkan, terutama pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal ini diungkapkan Direktur Eksekutif Indopol Survei, Ratno Sulistyanto, dalam acara rilis hasil survei dan diskusi publik Indopol tentang kondisi hukum pasca keputusan MK No. 90 dan diskusi publik tentang ancaman demokrasi dan negara hukum, di Jakarta (27/11).
Ratno menjelaskan, berdasarkan survei Indopol yang bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang pada 6 – 12 November 2023 terkait Pasca Putusan MK No.90 tentang persyaratan batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden, kinerja pemerintahan Jokowi di akhir masa jabatannya mendapatkan rapor merah.
Menurutnya, alasan publik tidak setuju karena putusan MK tersebut penuh dengan unsur politis, yakni memberikan karpet merah anak presiden. Putusan MK itu juga menciderai rasa keadilan hukum di Indonesia.
“Dan karena keputusan MK tersebut tidak etis dalam penyelenggaraan negara karena penuh dengan praktik nepotisme. Ketua MK adalah paman Gibran dan adik ipar Presiden Joko Widodo,” jelas Ratno.
Selain itu, sambungnya, dampak keputusan MK No. 90 ini adalah ada 47,42% publik menyatakan setuju bahwa majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres Prabowo Subianto pasca keputusan MK melahirkan politik dinasti Presiden Joko Widodo, sementara yang tidak setuju hanya 28,15%.
“66,77% publik juga percaya adanya politik dinasti dan menganggap bahwa politik dinasti adalah hal yang tidak baik dalam sistem politik Indonesia. Kondisi inilah menurut publik dalam temuan survei adalah salah satu bentuk intervensi kekuasan/penguasa terhadap penyelenggara hukum di Indonesia,” tuturnya.
Lebih lanjut, Ratno menyebut bahwa secara kualitatif kandidat potensial yang dapat memperbaiki dan mereformasi hukum dengan baik adalah Ganjar-Mahfud. Hal ini disebabkan ada faktor Mahfud yang punya pengalaman panjang dalam dunia hukum.
Sementara itu, Ketua PBHI Nasional, Julius Ibrani menyatakan, berdasarkan survei Indopol, untuk menyehatkan kembali hukum dan politik di Indonesia, butuh profil calon presiden-wakil presiden yang berpengalaman.
“Kita cek Ganjar-Mahfud memiliki pengalaman dalam reformasi hukum. Mahfud memiliki rekam jejak dan pengalaman. Kita butuh orang yang berani ke depan,” katanya.
Julius mengatakan pemerintahan Jokowi pada periode pertama asalnya kasih harapan dalam reformasi hukum. Tapi sejak periode pertama ada switching hukum.
“Pada sejumlah kesempatan Jokowi minta hukum jangan bikin gaduh. Dan sejak tahun 2017 Jokowi mulai berubah, hukum dilihat menghambat investasi dan bikin gaduh,” ungkapnya.
Pengamat Politik, Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti menilai, dari perspektif politik, putusan MK No. 90 seharusnya bisa dikoreksi karena masih ada waktu sampai ke hari H. Hal yang menjadi persoalan apakah Hakim MK memiliki keberanian atau tidak.
Menurutnya, masyarakat ingin para politisi dan presiden menghormati konstitusi dan mengembalikan demokrasi pada relnya.
“Presiden Jokowi kelihatannya akan maju terus dan bagaimanapun caranya Prabowo-Gibran menang Pemilu. Dengan cara apapun harus menang,” tambahnya.
Pada kesempatan sama, Dr. Aan Eko Widiarto selaku Dekan FH Universitas Brawijaya turut mengungkapkan bahwa dari hasil survei Indopol, 84,67% publik menyatakan setuju kondisi sosial, ekonomi, politik dan hukum Indonesia akhir-akhir ini sedang tidak baik-baik saja.
“Putusan MKMK menetapkan telah terjadi pelanggaran kode etik dan kode perilaku hakim dalam proses putusan MK No.90 dan semua hakim juga sudah dijatuhi vonis,” ujarnya.
Selama ini, lanjut Aan, ada pandangan bahwa seakan-akan kalau sudah keluar putusan itu bersifat final dan mengikat, meski dalam proses yang diabaikan. Putusan yang final and bonding ada batasnya.
Ia menilai seharusnya putusan MK dan putusan hakim di lingkungan MA yang diambil dengan proses yang cacat kode etik dan perilaku hakim dan/atau mengandung tindak pidana (Tipikor, dll) berakibat hukum tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Senada, Pembina Perludem, Titi Anggraini menilai Pemilu 2024 mengalami kemunduran kepastian hukum yang sangat besar.
“Bahkan di 2024, kita tidak bisa memastikan prosedur dengan tepat. Tidak ada tertib hukum yang menjamin kepastian hukum,” sebutnya.
Titi menjelaskan MK terbawa pada dampak eksesif dari yuridisiasi politik. Ketika MK mengeluarkan putusan No. 90, sulit dipisahkan dari intensi politik.
“Putusan ini dibuat dalam hitungan hari. Putusan MK No. 90 intensinya untuk Pemilu 2024,” ujar Titi.
Dalam merespon kondisi Pemilu 2024, pilihan aktivisme hukum dan gerakan sosial masyarakat dalam pemilu harus dilakukan dan disolidkan.
(*