MK Tidak Objektif Dalam Putusan Soal Batas Usia Capres Cawapres
Jakarta — Banjir kritik terjadi terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai memperpanjang politik dinasti Presiden Joko Widodo berkuasa. Dalam beberapa putusan MK, terdapat aspek-aspek yang dianggap mendukung dominasi politik dinasti pasca putusan dan kemungkinan pengaruh Presiden terhadap MK karena hubungan kekeluargaan.
Pemerhati Sosial Politik, Rustam Ibrahim menyayangkan bagaimana tujuan adanya Mahkamah Konstitusi adalah menciptakan demokrasi yang sejati, bukan sekadar tampilan semu (pseudo-demokrasi) yang dikuasai oleh politik dinasti dan oligarki.
“Reformasi Konstitusi yang melahirkan MK bertujuan mencegah terulangnya rezim otoriter Orde Baru pimpinan Soeharto & terciptanya pemerintah demokratis melalui pemilu yang jurdil. Bukan untuk menciptakan demokrasi semu (pseudo demokrasi) yang dikuasai politik dinasti & oligarki,” ungkap Rustam melalui akun Twitter pribadinya @RustamIbrahim (16/10).
Turut menambahkan, Pakar Hukum Tata Negara Jentera, Bivitri Susanti, putusan ini semakin mengukuhkan praktik nepotisme. Kritik ini muncul karena Ketua MK, yaitu Anwar Usman, memiliki hubungan keluarga sebagai adik ipar dari Presiden Jokowi.
“Nyata gitu yah antara Ketua MK dengan satu-satunya orang di bawah usia 40 yang namanya beredar (untuk maju pada Pilpres 2024) yaitu Gibran,” kata Bivitri.
Sebelumnya, pada diskusi yang diselenggarakan oleh Koalisi Masyarakat Pemilu Kawal Pemilu Demokratis dengan tema “MK: Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Kekuasaan? Jelang Putusan MK Soal Batas Usia Capres Cawapres” di Jakarta Selatan, berbagai pandangan dari para pakar, akademisi, dan pengamat hukum juga menyoroti obyektifitas MK yang kian terkikis kepentingan.
Pakar Pemilu dari Perludem, Titi Anggraini menyoroti pentingnya uji norma yang akan diperiksa oleh MK dalam memperkuat konstitusi. Titi Anggraini menegaskan bahwa regulasi pemilu harus memperkokoh dan meningkatkan kredibilitas pemilu.
“Sebelumnya MK memutuskan usia kepala daerah merupakan kewenangan pembuat UU (pada saat gugatan batas usia kepala daerah oleh penggugat Faldo Maldini dari PSI). Kepentingan orang banyak mana yg diwadahi MK mengenai batas usia Capres-cawapres, apakah merepresentasikan kepentingan nasional. MK pasti akan menolak gugatan usia Capres-cawapres apabila konsisten dengan keputusan-keputusan sebelumnya,” ujar Titi (15/10).
Prof. Ali Syafaat dari Universitas Brawijaya, turut berpartisipasi melalui telekonferensi, dan mengingatkan MK akan potensi konflik kepentingan dalam putusan batas usia Capres-Cawapres, terutama karena adanya hubungan kekeluargaan antara Presiden Joko Widodo dan Ketua MK.
“Hal yang menjadi celah bagi MK dalam memutuskan gugatan batas usia Capres-cawapres adalah guna memastikan setiap warga negara terbebas dari perilaku diskriminatif yang diwujudkan dengan berkedudukan sama dalam hukum dan pemerintahan. MK harus memastikan kekuasaan kehakiman yang kredibel dan tidak terpengaruh oleh kepentingan apapun,” tegas Prof Ali.
Turut hadir, Pengamat Politik/Direktur Eksekutif Lingkar Madani/Lima, Ray Rangkuti membahas isu nepotisme dalam politik dan perlawanan terhadap dinasti politik.
“Publik pasti menilai putusan MK adalah untuk kepentingan Gibran. Apabila Gibran tegas menolak atau menerima tawaran menjadi Cawapres, maka polemik ini sudah selesai dari beberapa waktu yang lalu,” pungkasnya.
Direktur Eksekutif YLBHI, Muhammad Isnur, menilai MK rawan kehilangan kredibilitas dalam menjaga konstitusi.
“Melihat banyaknya permasalahan yang melanda Hakim MK dan putusan MK, maka MK sudah cenderung menjadi mahkamah kekuasaan,” jelas Isnur.
Ketua PBHI, Julius Ibrani mengingatkan bahwa MK harus tetap objektif dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga hukum.
“Tidak memenuhi moralitas apabila pihak yang memiliki hubungan kekeluargaan berperkara dalam forum yang sama,” ungkap Julius.
Sementara itu, Ketua Centra Initiative, DR. Al Araf menekankan MK sebagai lembaga reformasi yang bertugas membatasi kesewenangan kekuasaan dan memastikan penegakan HAM.
“Krisis legitimasi MK akan berdampak pada setiap putusan MK dianggap sebagai sebuah masalah bagi publik. Bacapres yang paling berkepentingan dalam gugatan batas usia Capres-cawapres adalah Prabowo Subianto. Ganjar tidak mungkin karena sama-sama PDIP dengan Gibran. Anies Baswedan tidak mungkin karena sudah terbentuk pasangan dengan Muhaimin Iskandar,” tuturnya.
Kritik juga mengatakan bahwa MK seharusnya menjaga independensinya dan tidak hanya menjadi alat politik dinasti. Kritik ini memunculkan perdebatan tentang peran MK dalam demokrasi Indonesia.