Ciptakan Pemilu Damai, Hindari Penyebaran Radikalisme di Berbagai Media
Oleh : Doni Wicaksono
Gerakan radikalisme berpotensi muncul jelang pemilihan umum 2024. Sehingga hal itu tentunya dapat mengancam keberlangsungan pemilu, yang merupakan momen penting bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan pesta demokrasi dengan memilih presiden dan anggota legislatif yang baru. Kelompok radikal dan teroris dengan sengaja memecah-belah bangsa agar terjadi kekacauan di masyarakat.
Kelompok radikal tersebut memanfaatkan masa kampanye untuk menyebarkan narasi kebencian dan hoaks di dunia maya. Sehingga hal ini dapat mengancam keamanan dan pelaksanaan pemilu 2024.
Upaya untuk mencegah radikalisme dan terorisme menjelang pemilu perlu dilakukan oleh semua pihak, termasuk Pemerintah, masyarakat, dan media. Di era digitalisasi seperti sekarang ini, hampir semua orang tak pernah jauh dari gawai atau gadget.
Berbagai informasi dapat dengan mudah didapatkan baik informasi positif maupun informasi negatif sekalipun. Konten-konten yang sering dilihat di dunia maya tentu saja dapat memengaruhi perilaku kehidupan masyarakat sehari-hari.
Biasanya anak-anak muda atau remaja yang sedang mencari jati diri akan dengan mudah menelan bulat-bulat berbagai informasi dari sosial media untuk membentuk branding dirinya. Tentu saja tidak salah jika informasi yang didapatkan adalah positif, namun bagaimana jadinya jika informasi yang dikonsumsi setiap harinya adalah konten-konten negatif seperti radikalisme. Radikalisme merupakan suatu paham yang dibuat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan tatanan sosial dan politik secara drastis dengan cara kekerasan.
Bayangkan yang akan terjadi jika generasi muda terpapar paham radikalisme yang terus menerus didapatkan dari sosial media, tentu saja sangat berbahaya bagi tumbuh kembang dan orang-orang di sekitarnya.
Wakil Presiden, KH Ma’ruf Amin mengatakan saat ini banyak terdeteksi orang yang terpapar paham radikal terorisme bukan karena direkrut dengan kelompok tertentu, melainkan dari media sosial. Oleh karena itu, pemerintah saat ini telah memiliki strategi dalam menangkal paham radikal yakni melalui kontra radikalisasi dan deradikalisasi. Kontraradikalisasi dilakukan oleh semua Kementerian dan Lembaga, sedangkan deradikalisasi terorisme telah dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sejak dini. Secara umum, menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), kualitas penyebaran radikalisme meningkat, namun kuantitasnya turun. Bahkan untuk saat ini mereka memiliki tiga sasaran, yakni anak-anak, remaja, dan perempuan.
Kondisi tersebut tentu saja harus menjadi perhatian semua pihak. Terlebih, jumlah pemilih dari kalangan milenial dan gen Z sangatlah banyak. Ancaman tersebut masih memiliki kesamaan dengan pemilu yang diselenggarakan pada 2019 lalu. Hal tersebut, tentu membutuhkan tindakan konkrit dari aparat keamanan supaya ideologi radikal mampu diredam dan tidak sampai terimplementasi menjadi aksi yang merugikan banyak pihak. Oleh sebab itu, generasi muda harusnya dapat berpikir kritis dan siap untuk memperkokoh nilai Pancasila, bukan lantas terjebak oleh ideologi yang bertentangan terhadap nilai Pancasila.
Sementara itu, untuk menciptakan situasi pemilu 2024 yang damai dan kondusif, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah melakukan pemutusan akses atau take down terhadap ratusan akun dan konten internet yang terindikasi memuat aktivitas indoktrinasi dan penyebaran paham radikalisme selama bulan Juli sampai bulan Agustus 2023.
Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Budi Arie Setiadi mengatakan pihaknya bekerja sama Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Badan Nasional Penanganan Terorisme (BNPT) untuk terus memantau platform digital yang memuat konten radikalisme dan terorisme. Dari hasil pantauan dua lembaga itu, menunjukkan peningkatan signifikan penyebaran konten radikalisme. Beberapa akun ada yang terafiliasi Jemaah Ansharud Daulah (JAD) dan Jamaah Islamiah (JI).
Upaya penangkalan konten radikalisme, terorisme maupun hoaks dilakukan untuk memastikan berlangsungnya pemilu yang produktif dan sehat bagi masyarakat Indonesia. Selain itu kewaspadaan masyarakat terhadap konten-konten radikalisme juga harus ditingkatkan, karena apabila tidak, masyarakat dapat terpengaruh sehingga berdampak pada kehidupan sosialnya.
Pengamat Terorisme, Al Chaidar mengungkapkan bahwa kebanyakan remaja juga dapat dengan mudah terpapar paham radikalisme yang diselipkan dengan nilai agama. Hal itu karena mereka masih terlalu muda dan ilmu agamanya masih sangat sedikit sehingga mengalami kekeringan spiritual yang akut.
Sebagai masyarakat awam, dapat mengetahui tanda-tanda seorang remaja yang terkena paham radikalisme dengan mudah saat ini, contohnya, bisa dilihat dari kecenderungan berpikirnya, referensi atau rujukan yang dipakai terutama tafsiran-tafsiran dia terhadap ayat-ayat Al-Quran ataupun sabda nabi yang telah dianulir dengan informasi yang tidak benar. Hal tersebut merupakan beberapa strategi untuk menetralisir paham-paham yang dianggap radikal dan membahayakan dengan cara pendekatan tanpa kekerasan.
Kesiapsiagaan sendiri biasanya melibatkan tokoh masyarakat, sedangkan kontra radikalisasi dilakukan dengan cara memperbanyak kontra propaganda dan kontra ideologi. Untuk yang terakhir deradikalisasi, ditujukan kepada mantan teroris dan napi teroris dalam lapas yang kemudian akan dibina dengan keagamaan, kebangsaan dan kewirausahaannya. Dengan kecanggihan teknologi saat ini, anak muda memiliki peran penting dan dapat membantu mengatasi masalah radikalisme ini. Anak-anak muda ini dapat bergabung dengan mitra-mitra BNPT seperti Duta Damai Dunia Maya atau dalam hal paling sederhana yang dapat generasi muda ini lakukan adalah membagikan konten-konten positif yang jauh akan kekerasan, ujaran kebencian, dan juga paham radikal.
)* Penulis adalah Kontributor Media Jurnal Redaks